Minggu, 04 Oktober 2015

Kebijakan Politik Luar Negeri China ( Study kasus : Persengketaan Pulau Spratly )

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Perang dingin yang sudah berakhir membawa perubahan yang sangat cepat dan signifikan di dalam dunia global maupun sistem internasional. Berkembangnya isu-isu konflik yang muncul dalam dunia global membuat harapan dan tantangan yang baru bagi semua negara, khususnya dalam bidang keamanan. Perkembangan-perkembangan tersebut sedikit banyak berdampak pada tatanan kehidupan di kawasan internasional pada umumnya dan kawasan regional pada khususnya. Contoh masalah konkritnya adalah masalah persengketaan suatu wilayah Internasional, Kepulauan Spratly di Laut China Selatan. Sengketa mengenai kepemilikan kedua pulau ini merupakan suatu sengketa yang mempunyai jalan penyelesaian yang panjang dan cukup melibatkan banyak negara. Dalam permasalahan ini pun bukan hanya terbatas pada masalah kedaulatan atas Pulau Spratly tetapi juga mengenai landas kontinen, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) serta penggunaan teknologi dan eksplorasi dari pulau tersebut. Dapat dikatakan pula bahwa sebenarnya persengketaan ini adalah sebuah permasalahan ideologi, nasionalisme yang menyatu dengan kepentingan nasional suatu negara dalam bidang ekonomi.
Sengketa teritorial dan penguasaan kepulauan di Laut Cina Selatan berawal dari tuntutan Cina atas seluruh pulau-pulau di kawasan laut Cina Selatan yang berdasar pada bukti-bukti sejarah, penemuan situs, dokumen-dokumen kuno, peta-peta, dan penggunaan gugus-gugus pulau oleh nelayannya. Menurut Cina, sejak 2000 tahun yang lalu, Laut Cina Selatan telah menjadi jalur pelayaran bagi mereka. Beijing menegaskan bahwa bukti-bukti arkeologis Cina pada 220 Sebelum Masehi menunjukkan bahwa semua pulau di Laut Cina Selatan adalah milik Cina. Namun Vietnam menyebutkan bahwa Pulau Paracel dan Pulau Spratly merupakan bagian dari wilayah kedaulatannya yang sudah dieksplorasi sejak abad ke-17. Dengan seiring berjalannya waktu, Vietnam yang bersikeras menyebut bahwa kedua pulau tersebut adalah miliknya dan tetap menduduki wilayah tersebut pada saat berakhirnya Perang Dunia ke II.


Dapat dikatakan bahwa Pulau Spratly merupakan wilayah yang bersengketa dengan banyak negara sejak tahun 1971, namun penyelesaian masalah ini bermula dari latar belakang faktor sejarah akibat dari tindakan kolonialisme pasca perang dunia ke II. Filipina pernah menduduki gugusan pulau di Spratly pada sekitar tahun 1970an. Alasannya adalah karena kawasan tersebut merupakan daerah yang tidak dimiliki oleh negara manapun. Pernyataan Filipina tersebut berdasarkan pada rujukan Perjanjian Perdamaian San Francisco 1951 yang berisi tentang pelepasan hak Jepang atas Pulau Spratly.
Malaysia juga sempat menduduki beberapa gugus Pulau Spratly. Kedua pulau tersebut diklaim oleh Malaysia dengan mengacu pada peta batas landas kontinen Malaysia yang menggambarkan bahwa sebagian dari gugusan Pulau Spratly adalah merupakan bagian dari negaranya.  Di sisi lain, Brunei Darussalam yang baru merdeka dari jajahan Inggris pada 1 Januari 1984 pun turut serta dalam permasalahan Laut Cina Selatan ini. Namun, Brunei tidak mengklaim gugusan pulau dari Kepulauan Laut Cina Selatan itu, melainkan mengklain perairan yang berada di sekitar kepulauan tersebut.
Pada tahun 1988 pun Cina baru membangun konstruksi dan instalasi militer secara besar-besaran dan dengan waktu yang singkat. Selain membangun saran militer tersebut, Cina juga menempatkan pasukan militernya untuk berlatih sekaligus menjaga kepulauan tersebut. Pada tahun yang sama, Cina melakukan negosiasi jalan damai dengan Filipina dan Malaysia untuk menyelesaikan masalah mengenai kepemilikan Pulau Spratly. Pertentangan antar negara dalam memperebutkan kepulauan Spratly tidak hanya sebatas mengklaim pulau itu sebagai miliknya, tetapi juga mendudukinya.[1].







Sehingga muncullah keputusan China untuk menyelesaikan kasus ini secara damai akan tetapi  juga terlihat agak frontal. Hal ini semakin terlihat jelas dengan pengeluaran Undang-Undang tentang Laut Teritorial dan Contiguous Zone pada tanggal 25 Febuari 1992 secara de jure oleh Cina dan telah diloloskan Parlemen Cina yang memasukkan Kepulauan Spratly sebagai wilayahnya. Dan secara de facto, Cina telah menempatkan pasukan militernya untuk menjaga kepulauan tersebut untuk memperkuat pencapaian keinginannya. Demikianlah, persengketaan teritorial ini menciptakan potensi konflik yang luar biasa besar di sepanjang kawasan Asia Pasifik.[2].

1.2       Rumusan Masalah
Dengan latar belakang diatas, maka dapat di paparkan rumusan masalah sebagai berikut.
1.      Bagaimana Kebijakan Politik Luar Negeri China dalam Menyelesaikan Kasus Persengketaan?
2.      Bagaimana Pandangan PBB dalam menangani kasus Persengketaan kepulauan Spratly?



BAB II
PEMBAHASAN

2.1        Politik Luar Negeri China

§    Kebijakan Politik Luar Negeri Non Perang
China dengan teguh tak tergoyahkan menjalankan politik luar negeri damai yang bebas merdeka dengan tujuan pokoknya memelihara kemerdekaan, kedaulatan dan keutuhan wilayah China, menciptakan suatu iklim internasional yang kondusif untuk reformasi dan keterbukaan serta modernisasi China, memelihara perdamaian dunia dan mendorong perkembangan bersama. Isi utamanya meliputi: China senantiasa menjalankan prinsip bebas merdeka, tidak bersekutu dengan negara besar atau kelompok negara manapun, tidak mendirikan kelompok militer, tidak ikut serta dalam perlombaan persenjataan dan tidak mengadakan perluasan militer.
        
China  menentang hegemonisme, memelihara perdamaian dunia dan berpedirian semua negara baik besar maupun kecil, kuat maupun lemah serta miskin maupun kaya sama-sama adalah anggota masyarakat internasional yang sama derajat. Persengketaan dan konfrontasi antar negara seharusnya diselesaikan secara damai melalui musyawarah, tidak seharusnya menggunakan kekuatan bersenjata atau mengacam dengan kekuatan bersenjata, tidak boleh mencampuri urusan dalam negeri negara lain dengan dalih apapun. China dengan aktif mendorong pembinaan tata baru politik dan ekonomi internasional yang adil dan rasional. lima prinsip hidup perdampingan secara damai dan patokan hubungan internasional lain yang diakui umum harus dijadikan sebagai dasar pembinaan tata baru politik dan ekonomi internasional.

China bersedia menggalang dan mengembangkan hubungan kerja sama bersahabat dengan semua negara di atas dasar saling menghormati kedaulatan dan keutuhan wilayah, saling tidak mengagresi, saling tidak mengintervensi urusan dalam negeri, persamaan derajat dan saling menguntungkan dan lima prinsip hidup perdampingan secara damai. China melaksanakan politik terbuka terhadap dunia luar secara menyeluruh, bersedia di atas dasar prinsip persamaan derajat dan saling menguntungkan mengembangkan hubungan perdagangan , kerjasama ekonomi dan teknik serta pertukaran ilmu dan budaya secara luas dengan berbagai negara dan daeah di dunia, untuk mendorong kemakmuran bersama. Selama lebih 50 tahun berdirinya RRT, dalam diplomasi China telah terbentuk seperangkat langgam diplomatik yang berciri khas China melalui pemadatan, penyesuaian kembali dan perkembangan serta penyempurnaan kebijakan. Memandang ke depan, kecenderungan multipolarisasi konfigurasi dunia dan globalisasi ekonomi terus berkembang dan hubungan internasional tengah mengalami penyesuaian kembali yang mendalam. Perdamaian, kerja sama dan mendorong perkembangan telah menjadi seruan bersama rakyat berbagai negara.

Diplomasi China di samping menghadapi pelung juga menghadapi tantangan. Maka diharuskan senantiasa berfikiran jernih, meningkatkan kesadaran krisis, kesadaran keamanan dan kesadaran menghadapi perubahan. Dengan tepat mengenal dan menguasai iklim internasional dengan bertolak dari kecenderungan umum perubahan situasi internasional, memanfaatkan sebaik-baiknya peluang,  Menyongsong tantangan dan memanfaatkan faktor yang menguntungkan dan menyingkirkan faktor yang merugikan. China akan terus dengan sungguh-sungguh melaksanakan politik luar negeri yang bebas merdeka, terus merintis situasi baru pekerjaan diplomatik, menciptakan lebih lanjut iklim perdamaian internasional yang kondusif untuk modernisasi sosialis China dan memberikan sumbangan untuk usaha perdamaian dan pembangunan dunia[3]

2.2  Pandangan PBB dalam Sengketa Kepulauan Spratly
Terdapat enam negara yang mengklaim kepemilikan atas Kepulauan Spratly yaitu Cina, Vietnam, Brunei Darussalam, Filipina, Taiwan dan Malaysia. Berdasarkan hukum laut ZEE, dari ke enam negara tersebut sebenarnya hanya Malaysia, Brunei Darussalam, dan Filipina yang berhak atas kepemilikan dan pengelolaan kepulauan Spartly, karena hanya ketiga negara tersebut yang Zona Ekonomi Eksklusifnya mencapai Kepulauan Spratly. Status kepemilikan kepulauan tersebut tidak terlepas dari hukum atau peraturan yang ada mengenai kelautan.
Ahli kelautan Hugo De Groot pada tahun 1609 memperkenalkan azas kelautan yang kemudian dikenal dengan azas laut bebas (mare liberium) yang menyatakan bahwa keberadaan laut bebas berhak untuk dieksploitasi oleh siapa saja tetapi tidak dapat dimiliki oleh siapapun juga. Kemudian atas dasar inilah, Kepulauan Spratly tidak dibenarkan untuk dimiliki oleh negara manapun, karena akan bertentangan dengan azas laut bebas tersebut. Namun seratus tahun kemudian, muncullah azas baru yang kemudian dikenal dengan azas laut tertutup (mare clausum) yang menyatakan bahwa laut dapat dikuasai oleh suatu bangsa dan negara saja pada periode tertentu.
Secara umum, Kepulauan Spratly memang rawan memiliki potensi untuk terjadinya konflik terutama disebabkan oleh beberapa hal berikut; tempat yang strategis yang dan menyangkut kepentingan beberapa negara, konfrontasi sejarah yang panjang antar negara-negara pengklaim, adanya beberapa klaim kepemilikan yang tumpang tindih, dan perebutan sumber daya alam serta konflik yang paling dominan adalah terjadinya bentrokan senjata antara Cina dan Vietnam pada tahun 1988. Inti permasalahannya adalah adanya ketidakpastian hak kepemilikan atas pulau-pulau dan perairan di sekeliling wilayah kepulauan Spartly
Sudut Pandang Hukum Internasional atas Kepulauan Spratly (Sudut pandang PBB)
            China  adalah nomor dua dalam kekuasaan politik di wilayah dan juga menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Mereka memiliki minat yang kuat dalam perdagangan, investasi asing langsung dan pariwisata yang memerlukan keamanan strategis baik dalam politik dan militer. Di PBB, China memainkan “Good Boy” sebagai kebijakan luar negeri, yang memastikan bahwa China akan abstain dalam semua masalah di Dewan Keamanan PBB, kecuali masalah yang memiliki korelasi langsung dengan  China. Mereka juga memainkan “soft power” permainan (dengan berbagai program bantuan internasional) untuk menyebar pengaruh mereka ke negara-negara di kawasan untuk memenangkan hati dan pikiran mereka.
Berdasarkan konvensi PBB dalam hukum laut internasional (UNCLOS) yang telah diadopsi pada tahun 1982, setiap negara berhak memasukkan wilayah hingga 12 mil laut sebagai bagian dari kedaulatannya dan 200 mil laut untuk Zona Ekonomi Eksklusif. Acuan hukum UNCLOS inilah yang menjadi faktor pendorong utama negara-negara terus menerus melalukan eksplorasi berlebih terhadap sumber daya alam di lautan. Kepulauan Spratly mengundang negara-negara untuk mengklaim, seperti Brunei Darussalam misalnya yang mengklaim salah satu wilayah kepulauan Spratly yaitu Louisa Reef dan Riffleman. Filipina mengklaim sejumlah 8 gugusan pulau kecil yang merupakan bagian dari pulau Spratly.

 Jika diihat dari sudut pandang hukum internasional atas kepulauan Spartly, maka kita bisa mengacu kepada hukum laut internasional PBB, yaitu UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) 1982. Ada beberapa pasal yang terdapat dalam hukum UNCLOS yang berkaitan dengan klaim kepemilikan kepulauan Spartly, yaitu :
1. Pasal 15 UNCLOS 1982 mengenai garis tengah dalam penetapan batas dua negara pantai
 “Untuk menentukan garis tengah wilayah laut dua negara yang berhadapan atau bersebelahan, maka diukur dari jarak tengah dari masing-masing titik terdekat garis pantai masing-masing negara . . .”

2. Pasal 76 UNCLOS 1982 mengenai Landas Kontinen
 “Batas terluar landas kontinen suatu negara pantai dinyatakan sampai kedalaman 200 mil laut atau di luar batas itu sampai kedalaman air yang memungkinkan dilakukannya eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam . . .”]

3. Pasal 122 UNCLOS 1982 mengenai Laut Setengah Tertutup
 “Laut Tertutup atau Setengah Tertutup yang berarti suatu daerah laut yang dikelilingi oleh dua atau lebih negara dan dihubungkan dengan laut lainnya atau samudera, oleh suatu alur laut yang sempit atau terdiri seluruhnya atau dari laut territorial dan Zona Ekonomi Eksklusif dua atau lebih negara pantai.”

4. Pasal 289 UNCLOS 1982 mengenai penentuan penetapan batas wilayah
 “Penetapan batas wilayah sebaiknya dengan melakukan perjanjian internasional yang disepakati negara-negara, dan penggunaan hak sejarah dapat digunakan asalkan tidak mendapat pertentangan dari negara lain . . .”

5. Pasal 279, 280, 283, dan 287 UNCLOS 1982 mengenai penyelesaian sengketa

Pasal-pasal tersebut diatas menjelaskan mengenai kewajiban dari setiap pihak yang bertikai untuk menyelesaikan sengketa dengan cara-cara yang damai.[4]





[2]  http://pengantardiplomasi.blogspot.co.id/2010/06/soft-diplomacy-sebuah-upaya.html di akses pada Senin, 14 September 2015 pukul 8.45 pm.
[3] Di Akses pada Senin 14 September 2015 dari http://indonesian.cri.cn/chinaabc/chapter4/chapter40201.htm
[4] http://irjournal.webs.com/apps/blog/show/4113964
http://www.un.org/Depts/los/convention_agreements/texts/unclos/closindx.htm