Kamis, 22 Oktober 2015

CENTRALISATION And PERSONAL RULE OF THE AFRICAN STATE


CENTRALISATION OF THE AFRICAN STATE – GHANA

Sentralisasi adalah proses dimana kekuasaan diperoleh dari masyarakan dan kelembagaan (Legislatif dan Yudikatif). Sentralisasi Negara terjadi di Ghana pada tahun 1960.
Pada tahun 1957, Kwame Nkrumah dari Partai Konvensi Rakyat (CPP)yang berasal dari Partai Konvensi Rakyat (CPP) berhasil memenangkan Multipartai Ghana Dan membentuk sebuah konstitusi pemerintahan berdasarkan gaya barat. Kwame Nkrumah menolak untuk mentolerir apapun seperti separatism.
Langkah pertama yang dilakukan oleh CPP adalah, menggunakan suara mayoritas untuk melarang organisasi yang berbasis ‘ Tribal’, hal ini di lakukan untuk menghindari tindakan diskriminasi. Dan juga di bentuk sebuah undang-undang yang menjadi penghubung penting untuk  mobilisasi masyarakat sipil, etnis,yang telah dihentikan. Parlemen juga mengesahkan Undang-Undang Penahanan tindakan Preventif. Langkah ini digunakan untuk menahan para pembangkang politik yang terus menentang CPP. Kwame Nkrumah membuat sebuah pengadilan khusus untuk mengadili kasus pengkianatan terhadap poliitk dan pemberontakan. Dan Kwame Nkrumah juga mengangkat seorang hakim untuk mengadili kasus tersebut.
Referendum terjadi pada tahun 1964, dimana Rakyat Ghana meminta agar hanya ada 1 partai.
·         Kwame Nkrumah membongkar sistem multi partai di Ghana karena ia menyatakan sistem ini membuat perpecahan sosial;
·         Pemimpin di afrika mengatakan bahwa tidak adanya budaya multi partai di afrika karena multi partai ini hanya menyebabkan terjadinya kesenjangan social dan konflik kelas sedangkan multi prtai adalah budaya eropa yang di adopsi oleh lembaga-lembaga politk di afrika maka para pemimpin afrika seperti nyerere dan yang lainya menyepakati Konsensu menjadi kunci untuk perpolitikan di Afrika, bukan kompetisi. Oleh karena itu diikuti bahwa model satu partai adalah metode terbaik menciptakan gaya politik konsensus yang di warisi dari leluhur.
·         Presiden afrika menganjurkan untuk mengedepankan pembangunan ekonomi Negara maka lebih baik menggunakan sistem satu partai.
·         Masalah dengan negara satu partai adalah bahwa, dalam prakteknya, sistem ini membuat hubungan antara negara dan masyarakat sipil menjadi jauh atau direduksi. Fungsi utama dari sebuah partai dalam sistem politik adalah untuk bertindak sebagai perantara. Sedangkan Pemimpin menggunakan pihak lembaga untuk tetap berhubungan dengan rakyat  sementara masyarakat sipil menggunakan struktur partai untuk menyalurkan permintaan mereka melalui elite politik. Dengan Pemilu  satu  partai yang lebih terbuka sehingga hubungan antara masyarakat dan pemerintah menjadi terbatas
·         Eksekuti di afrika mepertahankan monopoli untuk pengambilan keputusan dan anggota parlemen berkonsentrasi pada isu-isu sumber daya lokal, bukan nasional yang lebih luas atau internasional. Dalam lingkungan politik di mana eksekutif yang begitu kuat,

PERSONAL RULE – CONGO -KINSHASA MOBUTU

 Personal rule adalah seorang pemimpin yang memimpin aktivitas politik, ekonomi dan semuanya dengan menggunakan aturannya sendiri.
Patrimonialisme mirip dengan personal rule. Ini adalah bentuk tatanan politik di mana kekuasaan terkonsentrasi pada kekuasaan pribadi satu individu. Pemimpin Mendapat posisi yang menguntungan seperti banyak Pemimpin atau pejabat publik menggunakan posisi mereka dalam negara untuk melayani mereka sendiri, dan bukan untuk masyarakat.  dan pemimpin patrimonial memperlakukan semua kepentingan politik dan administrasi negara sebagai mereka urusan pribadi sendiri. Negara adalah milik pribadi, dan mereka bertindak sewenang-wenangnya.
Personal rule di Afrika dapat dicirikan sebagai otoriter, sewenang-wenang, mewah dan tidak efisien. Personal rule dari seorang pemimpin sering di pamerkan, seperti dengan memiliki jabatan tinggi maka mereka akan mendapatkan penghasilan yang tinggi pula dari hasil tersebut membuat mereka menjadi kaya sehingga kekayaan mereka tersebut di pamerkan kepada masyarakan dan lainnya. Seperti yang di lakukan pada presiden Kinshasa Mobutu.
·     Personal Rule Negara yang dipimpin oleh satu orang karismatik yang dominan.
·    Para pemimpin personal rule menolak aturan-aturan formal dan mereka membuat peraturan mereka sendiri untuk kepentingan mereka.
· kompetisi faksi dalam elit yang berkuasa, Sistem politik pribadi ini juga telah menciptakan pemerintahan yang didasarkan pada fraksi, bukan institusi. Fraksi kuat dan mengontrol sumber daya Negara. Dan di afrika etnis dan administrasi cenderung mengalokasikan sumber daya atas dasar permintaan.
· pemerintah yang tidak efisien, lebih lanjut tentang memelihara jaringan klien-patron dari pengelolaan kebijakan public, Personal rule mengandalkan distribusi sumber daya negara untuk 'membeli' legitimasi untuk rezim. Sebagai pelanggan (Patrons) bisa menyehatkan pengikut mereka, melalui manipulasi barang public dan lembaga, maka mereka aman. Itu adalah imbalan untuk klien, oleh karena itu,  mereka mendistribusikan melalui mekanisme klientelisme.

Presiden Mobutu Sese Seko dari Zaire (Republik Demokratik Kongo, DRC) adalah master dia melihat dari pesaing potensial dan mengelola 'istana' untuk tujuannya sendiri. pemerintahan mobutu Tidak ada potensi penantang yang dibolehkan untuk mendapatkan basis kekuatan.  Mobutu tahu bahwa pekerjaan mereka hanya bergantung pada kebijaksanaan presiden. Dia menunjuk pejabat militer yang setia dan yang lain sebagai gubernur provinsi, tetapi hanya untuk provinsi di luar daerah. Dan ia terus-menerus merombak dan melakukan pembersihan gubernur dan pejabat militer perintah. Setiap orang terus kehilangan keseimbangan. Setiap orang harus bersaing untuk patronase nya. Mobutu memegang semua kartu dan permainan nya.Pemimpin personal rule terampil menggunakan kombinasi pemaksaan dan legitimasi untuk mempertahankan pemerintah dan tatanan sosial. Namun bagaimana legitimasi ini dihasilkan? Hasil dari legitimasi adalah Neo-patrimonia dan clientilism yang di pakai oleh pemimpin personal rule.

Penyanderaan Warga Negara Indonesia (WNI) di Perbatasan Papua New Guinea

Penyanderaan Warga Negara Indonesia (WNI) di Perbatasan Papua New Guinea




Konflik : Penyanderaan Warga Negara Indonesia (WNI) di Perbatasan Papua New Guinea.
Lokasi Penyerangan : Wilaya Skouwtiau, Distik Arso Timur, Kabupaten Keerom, Jayapura,
Papua, Indonesia
Lokasi Penyanderaan : Vanimo, Perbatasan Papua New Guinea dan Papua RI.
Siapa (Who) :
  •     Lima Orang WNI yaitu : Badar, Kuba, Sariffudin, Sudirman dan Yani.
  •      OPM dan KNPB
  • Jeffrey Pagawak (juru runding OPM)
  •   Presiden RI
  • Kaporli, Kapolda, TNI RI dan Tentara PNG
  •   Pemerintah Indonesia dan PNG
  • Konsulat Jendral RI untuk Vanimo
  •  Menteri Luar Negeri RI
  • Masyarakat sekitar
Kapan (When) : Rabu, 9 September 2015 – 17 September 2015.
Kenapa (Why/Reason) : Konflik ini terjadi karena Kelompok bersenjata yang di anggap
OPM Menginginkan Pembebasan terhadap anggota kelompok mereka yang sedang di tahan pemerintah Indonesia karena terlibat kasus Narkoba, mereka ingin melakukan barter atau menukar kedua orang WNI yang di sandera dan 2 orang anggota kelompok bersenjata yang sedang di tahan pemerintah Indonesia di porles keerom.
Kelompok OPM adalah kelompok yang memperjuangkan Hak- hak Manusia untuk rakyat papua dan juga untuk memperjuangkan Hak-hak politik rakyat Papua. Di papua jika terjadi penembakan atau pembunuhan terhadap warga sipil atau pun Aparat maka aktivitas masyarakat di papua mulai dari pemerintahan sampai swasta akan di berhentikan dan hal ini membuat terganggunya aktivitas masyarakat sehingga muncul ketegaangan maka akan berdampak pada Instabilitas politik di papua. Banyak kasus seperti ini yang terjadi yang menyebabkan kelompok-kelompok OPM ini bergerak untuk memperjuangkan Hak-hak Politik dan HAM bagi rakyat papua.

KRONOLOGI

Rabu, 9 September 2015 – Pukul 09:00 Am , Tempat Wilaya Skouw, Distik Arso Timur, Kabupaten Keerom, Jayapura, Papua-Indonesia. Terjadi penyerangan terhadap Warga Negara Indonesia (WNI) yang sedang bekerja sebagai penebang kayu. Ketika mereka sedang bekerja mengelolah kayu, tiba-tiba mereka di serang oleh sekelompok orang bersenjata. Lima orang WNI itu adalah Badar, Kuba, Sariffudin, Sudirman dan Yani. Salah seorang dari meraka bernama kuba, ia di tembak dua kali oleh kelompok bersenjata, tembakan pertama tidak mengenai korban dan Kemudian korban di ajak ke Camp-nya, tetapi di dalam perjalanan korban lalu di tembak untuk yang kedua kalinya dari sisi belakang dan mengenai kepala kirinya hingga tembus mata kirinya dan di saat korban jatuh, pelaku lainnya lalu   memanahi korban dan mengenai tulang rusuk korban. Dan korban di tinggalkan begitu saja di pinggir jalan. Beberapa jam kemudia kuba di tolong oleh seorang bapak yang bernama Imanuel, sekarang ia sedang di rawat di Rumah sakit di jayapura. dua orang temannya yani dan sariffudin pun melarikan diri dari kelompok bersenjata dan melaporkan kejadian tersebut di kapolres setempat. Dua orang temannya lagi Badar dan Sudirman di duga di culik dan di sandera oleh kelompok bersenjata.

11 September 2015, Dua warga Negara RI yang melarikan diri melaporkan penembakan dan penculikan ini kepada Polres keerom. Penyelidikan pun di lakukan dan diketahui ada dua WNI yaitu Sudirman dan Badar yang hilang di duga telah di culik dan sandera oleh kelompok bersenjata yang di anggap Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang di pimpin oleh Jeffrey Pagawak dan setelah TNI mendapatkan laporan bahwa kedua WNI yang di sandera ini di bawa menyebrang ke Skouwtiau,Vanimo, Papua New Guinea,sehingga mereka TNI pun berkoordinasi dengan Konsultan Jendral RI di vanimo  .

 12 Septembar 2015, setelah mendapatkan mandate. TNI lalu bergegas mencari keberaaan para pelaku dan dua WNI yang sedang di sandera. Mereka berkoordinasi dengan polda dan polri untuk memantau lokasi. Mereka pun berhasil mendapatkan lokasi tempat penyanderaan yang berada di Vanimo. Dalam konflik ini karena korban di bawa ke vanimo yaitu Papua New Guinea Negara tetangga Indonesia sehingga pemerintah Indonesia meminta bantuan kepada Pemerintah Papua New Guinea bertindak sebagai mediator antara pemerintah RI dan OPM ( Kelompok bersenjata). Pemerintah Indonesia melakukan soft diplomasi dengan cara bernegosiasi dengan pemerintah PNG yang membantu pencarian dan pembebasan kedua WNI yang di sandera.

14 September 2015, Setelah melakukan negosiasi dengan OPM , Mereka menginginkan agar rekan mereka yang sedang di tahan oleh pemerintah Indonesia  karena kasus Ganja supaya di tukar atau barter dengan kedua WNI yang meraka sandera tetapi presiden Indonesia menolak adanya pertukaran sampai akhirnya pertukaran pun di batalkan dan belum mencapai kesepakatan.

 15 september 2015, Pemerintah RI menyatakan tidak akan berkompromi dengan para penyandera dan meraka menyiapkan  sebuah skenario buruk. Pemerintah papua New Guinea beserta tentaranya berhasil berkomunikasi dengan Kelompok bersenjata ini dan mereka membuat perjanjian bahwa kedua WNI tersebut akan di kembalikan ke pemerintah PNG untuk di pulangkan ke Pemerintah RI. Kesepakantan pun terjadi sehingga pada,

17 september 2015 Pemerintah PNG akan bertemu dengan Kelompok bersenjata ini di lokasi tempat penyanderaan. Saat tentara PNG sudah berada di lokasi yang dimana mereka sepakati Tetapi penyandera tersebut malah masuk kedalam hutan, lebih dalam lagi dari tempat sebelumnya dan kesepakatan yang di buat tidak di tepati oleh Kelompok bersenjata (peyandera) sehingga tentara PNG pun melakukan pengejaran kedalam hutan, meraka melakukan pengejaraan dari sore sampai malam dan akhirnya pada pukul 19:30, tentara berhasil menemukan dan menyelamatkan kedua WNI tersebut tanpa melalukan kekerasan. Dan kedua WNI yang menjadi korban tersebut  dibawah ke Vanimo untuk di rawat dan di periksa untuk mengetahui kondisi kedua korban tersebut.

Jumat, 18 September 2015, Jeffrey sebagai pemimpin OPM yang di duga telah melakukan penembakan dan penyanderaan terhadap WNI membantah tudingan  melakukan penculikan dan penyanderan terhadap WNI di perbatasan Papua. Ia di tuding karena menurut TNI,  kelompok Jeffrey merupakan kelompok bersenjata (kelompok separatis) yang menjadi buronan Polri karena terlibat kasus penyerangan terhadap polsek Abepura-jayapura beberapa waktu yang lalu. Jeffrey adalah juru runding OPM yang lebih banyak bekerja dibelakang layar dan kerap berada di luar negeri. Dan dalam kasus ini ia menawarkan bantuan untuk membantu mencari keberadaan WNI untuk di kembalikan ke pemerintah RI.

Sekian dan Terima Kasih.


CHRISTIN S.B ANSANAY
1370750030
REVIEW II 
TENTANG KEAMANAN NASIONAL

Pada era akhir 1980-an merupakan awal dari munculnya gagasan mengenai keamanan non-tradisional (ancaman non-militer). Pengembangan keamanan tradisional dilakukan oleh beberapa pemikir, salah satunya adalah Barry Buzan, Ia menyadari bahwa dalam era globalisasi hubungan antar negara mendatangkan keuntungan positif, namun sisi lain menyebabkan negara dan rakyatnya dalam keadaan bahaya. Dalam konteks keamanan maka Buku karangan Barry Buzan tentang People, States and Fear, secara tegas dan jelas membahas tentang individu, negara dan sistem internasional dan menitik beratkan pada masalah keamanan nasional dalam pergaulan internasional dan bertujuan untuk memperluas agenda keamanan suatu negara. Meskipun dalam bukunya, Buzan mencoba memperluas agenda keamanan, namun kecenderungan negara sentris masih tetap ada.   Selanjutnya, dalam bukunya yang kedua, Buzan memperluas apa yang dikenal sebagai ‘referent objects’. Buzan menyatakan, “If a multisector  approach to security was to be fully meaningful, referent objects other than the state had to be allowed into the picture.”
Barry Buzan menawarkan sebuah agenda perluasan keamanan yang tidak hanya menempatkan negara sebagai satu-satunya reference object, akan tetapi membagi beberapa sektor yang kiranya membutuhkan penanganan yang lebih baik dan mengkategorikan lingkup isu keamanan ke dalam 5 sektor, yang tiap sektornya mengindentifikasi ancaman dari interaksi yang ada. Adapun isu yang dimasukkan Buzan seperti:
 • Sektor Militer ( forceful coercion); Secara tradisional ancaman militer merupakan prioritas tertinggi yang menjadi perhatian dari keamanan nasional, hal ini dikarenakan ancaman militer dengan  menggunakan kekuatan bersenjata yang dapat memusnahkan apa yang telah di capai oleh  manusia. Ancaman militer juga tidak hanya bersifat langsung, tetapi juga dapat tidak  langsung ditujukan kepada negara itu, tetapi lebih kepada kepentingan-kepentingan eksternal yang ditujukan kepada negara itu.
• Sektor Politik (otoritas, status pemerintah, dan pengakuan); Ancaman ini ditujukan kepada stabilitas kinerja institusi negara. Tujuan  mereka cukup luas, dari mulai menekan pemerintah lewat kebijakan-kebijakan tertentu,  penggulingan pemerintahan, menggerakkan kekacauan. Target dari ancaman politik ini adalah nilai-nilai negara, terutama identitas nasional, idiologi, dan beberpa institusi yang  berurusan dengan ini. Ancaman politik juga dapat bersifat struktural, yang secara spesifik  muncul ketika terjadi bentrokan antara dua kelompok besar dalam negara dengan pemikiran  yang berbeda.
• Sektor Ekonomi (perdagangan, produksi, dan finansial); . Masalah utama dari ide tentang keamanan ekonomi  adalahberlangsungnya kondisi normal dari aktor-aktor pelaku pasar tanpa gangguan  persaingan tidak sehat dan ketidakpastian. Ancaman ekonomi juga mengkaji masalah  pengangguran, kemiskinan, keterbatasan terhadap sumber daya, dan daya beli rakyat
• Sektor sosial (collective identity); Ancaman sosial terhadap keamanan nasional biasanya datang dari  dalam negeri.Keamanan sosial ialah mengenai ancaman terhadap keberlanjutan dari  perubahan nilai, budaya, kebiasaan, identitas etnik. Masih menurut Buzan, ancaman sosietal  dapat dibagi menjadi beberapa bentuk, yang secara mendasar yaitu: ancaman fisik  (kematian, kesakitan), ancaman ekonomi (pengrusakan hak milik, terbatasnya akses  lapangan kerja), ancaman terhadap hak-hak (pembatasan hak-hak kebebasan sipil), dan  ancaman terhadap posisi atau status (penurunan pangkat, penghinaan di depan publik).
• Sektor lingkungan (aktifitas manusia dan the planetary biosphere) Merupakan ancaman dari bencana alam seperti banjir, longsor, hujan  badai, gempa bumi. Namun yang menjadi isu sentral keamanan ekologi adalah masalah  aktivitas manusia yang merusak lingkungan seperti pemanasan global, efek rumah kaca,  banjir, eksplorasi sumber daya alam secara besar-besaran dan terus menerus. Kerangka anilisis ini memperlihatkan pergantian yang cukup berarti dari pemikiran  tradisionalis tentang konsep keamanan yang sempit, terutama ketika keamanan membawa  isu-isu non-militer sebagai fokus kajiannya. Banyaknya dimensi keamanan nasional  membawa konseptualisasi tentang keamanan komprehensif (comprehensive security).  Pandangan yang berpijak dari anggapan bahwa keamanan nasional sebagai sesuatu yang  bersifat komprehensif percaya bahwa keamanan nasional terdiri dari bukan hanya ancaman  yang berdimensi militer, tetapi juga yang berdimensi non-militer. Selain itu, lingkup  keamanan juga bukan hanya terbatas pada substansi kewilayahan (territorial security) tetapi  juga menjadi isu spesifik, seperti: Keselamatan masyarakat (public safety). Perlindungan  masyarakat (community protection). Ketertiban umum, penegakan hukum dan ketertiban  masyarakat (law enforcement and good order). Pertahanan nasional (national defence).
           
Pada chapter II, Barry Buzan menyoroti tentang kemanan nasional dan sifat-sifat yang terkandung didalamnya. Terkait dengan bagian ini kolom keamanan nasional dalam International Encyclopedia of the Social Sciences mendefinisikan keamanan sebagai “kemampuan suatu bangsa untuk melindungi nilai-nilai internalnya dari ancaman luar". Tiga sifat penting dari pengertian klasik adalah: pertama, identifikasi “nasional” sebagai “negara”; kedua, ancaman diasumsikan berasal dari luar wilayah negara; dan, ketiga, penggunaan kekuatan militer untuk menghadapi ancaman-ancaman itu.
Barry Buzan mencoba menawarkan tiga landasan keamanan nasional: landasan ideasional, landasan institutional, dan landasan fisik. Apa yang oleh Buzan dianggap sebagai landasan fisik meliputi penduduk dan wilayah serta segenap sumber daya yang terletak di dalam lingkup otoritas teritorialnya; landasan institusional meliputi semua mekanisme kenegaraan, termasuk lembaga legislatif dari eksekutif maupun ketentuan hukum, prosedur dan norma-norma kenegaraan; landasan ideasional dapat mencakup berbagai hal termasuk gagasan tentang “wawasan kebangsaan”. Dalam konteks seperti itu, kalaupun keamanan nasional akan di identifiskasi sebagai “keamanan negara” - dengan asumsi bahwa negara tidak lagi menghadapi gugatan atas legitimasinya - maka ia perlu mengandung sedikit-dikitnya tiga komponen: kedaulatan wilayah, lenbaga-lembaga negara (termasuk pemerintahan) yang dapat berfungsi sebagaimana mestinya; dan terjaminnya keselamatan, ketertiban serta kesejahteraan masyarakat.
Keamanan secara umum sebagai upaya untuk mempertahankan wilayah kedaulatan serta upaya untuk memproteksi terhadap nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Pada prakteknya, negara sebagai unit yang bersifat heterogen senantiasa bertindak serta berperilaku mengejar kepentingan nasional diatas segalanya. Negara akan bekerjasama lebih karena dilandasi terhadap kepentingan dirinya sendiri
Dalam kerangka kepentingan nasional meliputi kepentingan ekonomi, politik, social, budaya, pertahanan keamanan dan kedaulatan wilayah., ancaman ini merupakan ancaman paling besar saat ini. Hal ini dapat dilihat dalam liberalisasi bidang ekonomi dengan semakin kecilnya peran Negara dalam kegiatan ekonomi, dan ancaman ekologis (pembakaran hutan, asap akibat kebakaran hutan, dan lain-lain). Ancaman-ancaman tersebut telah menjadi isu global, sehingga hubungan internasional pun diarahkan pada Upaya pemeliharaan perdamaian dunia yang meliputi penyelesaian konflik secara damai dan perjanjian damai.
Dalam buku The Evolution of International Security Studies, Barry Buzan dan Lene Hansen mengetengahkan empat pertanyaan yang akan secara implisit ataupunn eksplisit menjadi perdebatan dalam ranah studi keamanan.
Pertanyaan pertama adalah apakah tetap memberikan keistimewaan kepada negara sebagai satu-satunya referent object. Keamanan menurut Buzan dan Hansen adalah merupakan upaya untuk mengamankan sesuatu: apakah itu negara, individu, kelompok etnik, lingkungan hidup atau bahkan keberlangsungan planet bumi itu sendiri.
Pertanyaan yang kedua, apakah juga menyertakan ancaman yang datang dari dalam serta ancaman yang datang dari luar. Hal ini penting mengingat keamanan senantiasa terikat kedalam perdebatan menyangkut kedaulatan negara serta menyangkut menempatkan ancaman dalam relasinya dengan batasan teritorial. Baik hubungan internasional ataupun studi keamanan saat ini sedang menghadapi tantangan dimana globalisasi telah mengaburkan atau bahkan meniadakan batasanbatasan menyangkut pembedaaan antara ancaman yang datang dari dalam ataupun ancaman yang datangnya dari luar.
Pertanyaan ketiga adalah, apakah memperluas keamanan dari sekedar sector militer dan penggunaan kekuatan militer. International Security Studies (ISS) yang ditemukan pada saat perang dingin berlangsung dimana pada masa itu diliputi oleh penguatan kapabilitas militer (baik konvensional ataupun nuklir) keamanan nasional kemudian bersinggungan dengan sektor militer dan penggunaan kekuatan militer. Seiring berkembangnya ISS, perluasan sektor termasuk didalamnya sektor ekonomi, sosial, kesehatan, lingkungan hidup, pembangunan dan gender.
Pertanyaan keempat adalah, melihat apakah keamanan memiliki keterikatandengan ancaman yang dinamis, bahaya serta urgensi. Pada masa perang dingin konsep keamanan nasional dibangun dalam iklim politik dimana Amerika Serikat dan barat secara lebih luas, menganggap dirinya terancam oleh kehadiran pihak musuh. Keamanan selanjutnya berkaitan dengan upaya menyerang, penaklukan, dominasi,penghancuran.
Keamanan menurut Buzan dan Hansen menjadi semakin jelas berkaitan dengan tujuan politik serta norma dalam mendefinisikan keamanan sebagai sebuah konsep. Keamanan akan selalu menjadi konsep yang “memiliki garis penghubung”serta berkaitan dengan referent object secara khusus, lokasi eksternal ataupun internal, juga kepada satu atau beberapa sektor yang khususnya berkaitan dengan cara pandang dalam politik.
Memasuki era 1990-an sebagai babak baru dari perkembangan relasi antar aktor hubungan internasional dimana negara sebagai aktor utama diikuti oleh aktor - aktor non negara yang semakin meningkat peranannya membuat keamanan dalam konteks isu menjadi kian dinamis pula. Peningkatan jumlah korban yang terjangkit virus HIV AIDS, degradasi lingkungan yang ditandai oleh semakin meningginya permukaan air laut, kerusakan hutan, penipisan lapisan ozon atau terjadinya perang saudara, krisis politik yang berimplikasi terhadap semakin menguatnya fenomena migrasi manusia dari satu negara kenegara lain adalah deretan dari isu-isu baru yang mengemuka pada media 1990an. Semakin bervariasinya ancaman mungkin dapat dikatakan sebagai salah satu faktor yang membuat konsep keamanan perlu dilakukan perluasan. Buzan dan Hansen pun kemudian mengetengahkan lima faktor yang mempengaruhi terciptanya evolusi studi keamanan.  (Buzan dan Hansen menggunakan istilah International Security Studies) kelima faktor ini adalah great power politics, technology, event, academic debate, Institutionalisation.
Kelima faktor diatas menurut Buzan dan Hansen menjadi rujukan bagi terciptanya evolusi dibidang studi keamanan.
 Great Powers Politics, menurut Buzan dan Hansen telah membingkai relasi antar negara. Rivalitas antar Amerika Serikat dan Soviet mendominasi studi keamanan selama hampir empat puluh tahun.  Selama kurun waktu empat puluh tahun, studi keamanan nampak jelas sangat dipengaruhi oleh relasi kedua negara besar ini. Relasi keduannya sangat mempengaruhi stabilitas dunia pada era perang dingin lalu.
Technology, perkembangan teknologi yang semakin meningkat pesat juga memiliki kontribusi terhadap evolusi ini. Peningkatan teknologi dalam sektor militer menjadi sesuatu yang tidak dapat terbantahkan. Dari perkembangan akurasi, teknologi alat angkut yang dikembangkan untuk memfasilitasi peluncuran senjata nuklir yang semakin hari semakin canggih. Namun jika berkaca dari fenomena 9/11 serta lingkungan hidup, teknologi menjadi begitu sentral baik dalam konteks ancaman ataupun bagaimana mencari solusi terhadap ancaman lingkungan hidup dan fenomena 9/11 . 
Events, menurut Buzan dan Hansen, sebuah fenomena dapat mempengaruhi relasi antar negara yang memiliki powers namun juga mempengaruhi penggunaan paradigma untuk mengamati fenomena tersebut.
 Academic Debate, dalam ilmu sosial menurut Buzan menginterpretasikan suatu permasalahan dapat bernuasa normative ataupun analitis. Faktor selanjutnya adalah Institutionalisation.
Institutionalisation menjadi salah satu faktor menunjang terjadinya evolusi dalam studi keamanan. Buzan dan Hansen mengambil contoh fenomena munculnya institusi, seperti think tank, lembaga-lembaga riset seperti COPRI, program-program studi baru yang bermunculan di Universitas-universitas serta beberapa jurnal yang memiliki spesifikasi tertentu dalam upayanya menjawab fenomena munculnya isu-isu baru yang berkembang dalam ranah studi keamanan. Selama ini konsep keamanan Amerika Serikat masih tetap diwarisi oleh konsep keamanan warisan perang dingin dimana ancaman dipersepsikan dengan datangnya serbuan atau gerak militer dari negara lain. Amerika Serikat denganmkedigdayaan militer dan anggaran militer yang besar logikanya memang mampu memberikan rasa aman bagi kedaulatan wilayah serta masyarakat yang hidup didalamnya.
konsep  keamanan yang diusung oleh Copenhagen School sebagai school of thought yang telah mengembangkan teori keamanan dalam tradisi konstruktivis. Perdebatan menyangkut apakah perluasan keamanan (Broader conseption of Security) antara para penganut keamanan tradisional serta para penganut keamanan non tradisional (Copenhagen School) menyangkut persepsi keamanan apa yang disebut Barry Buzan sebagai referent object of security:  Keamanan bagi siapa, aman dari apa, dan siapa yang mendefinisikan keamanan? Apakah keamanan itu adalah keamanan nasional yang secara sempit diartikan sebagai keamanan negara (state security) ataukah keamanan seluruh entitas politik di bawah negara: individu, kelompok, dan seluruh elemen masyarakat? Juga, apakah keamanan tersebut diartikan sebagai aman dari ancaman militer atau ancaman-ancaman lain yang lebih luas? Pengabaian terhadap perlunya perubahan fokus ancaman keamanan dari bingkai persaingan Timur dan Barat dalam kerangka keamanan dan ancaman militer justru akan membuat negara (dalam hal ini Amerika Serikat) mengalami kesulitan dalam menghadapi perubahan konstalasi politik internasional paska perang dingin.
Penyerangan 9/11 secara jelas menggambarkan bahwa ancaman tidak hanya datang dari institusi Negara namun juga mungkin datang dari konteks aktor-aktor non Negara yang tidak memiliki wilayah territorial. Kapabilitas militer ternyata tidak mampu berbuat banyak dalam rangka menangkal masalah keamanan yang semakin modern serta penyerangan teroris yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Barry Buzan menawarkan sebuah agenda perluasan keamanan yang tidak hanya menempatkan negara sebagai satu-satunya reference object, akan tetapi membagi beberapa sektor yang kiranya membutuhkan penanganan yang lebih baik.
Kesimpulan:
Dengan demikian menurut Barry Buzan dalam buku People, State and Fear secara umum menyatakan bahwa ada tiga actor utama yang berperan penting dalam ancaman terhadap suatau Negara yakni, Rakyat, Negara dan Sistem Internasional. Rakyat dapat saja menjadi korban perang, atau objek perang tetapi juga memegang peran penting sebagai bagian dari komponen pertahanan dalam menghadapi musuh Negara lain. Selanjutnya pemerintah selain melindungi rakyat dari ancaman musuh juga seringkali Negara dengan elit pemimpinnya yang otoriter juga dapat saja menjadi ancaman bagi masyarakat dan demikian pula ancaman Negara khususnya dari musuh-musuh Negara lain. Dalam sistem internasional ancaman terhadap negara tidak hanya dalam bentuk ancaman militer namun juga ancaman ekonomi dan politik internasional. 
Keamanan menurut Buzan dan Hansen menjadi semakin jelas berkaitan dengan tujuan politik serta norma dalam mendefinisikan keamanan sebagai sebuah konsep. Keamanan akan selalu menjadi konsep yang “memiliki garis penghubung”serta berkaitan dengan referent object secara khusus, lokasi eksternal ataupun internal, juga kepada satu atau beberapa sektor yang khususnya berkaitan dengan cara pandang dalam politik. Buzan juga menyoroti tentang ancaman suatu Negara yang disebabkan karena sistem politik internasional suatu Negara dan sistem Politik Internasional. Dalam konteks politik internasional pengalaman pada perang dunia ke dua dan juga perang dingin yang menciptakan polarisasi ideology dunia menyebabkan banyak Negara mengalami chaos atau anarkis di dalam negaranya akibat konspirasi yang diciptakan oleh aktor-aktor yang bermain dalam perang dingin.
Salah satu masalah utama yang di hadapi suatu Negara dalam merumuskan strategi keamanan nasional adalah penetapan peran yang harus di jalankan angkatan bersenjata Negara. Kajian-kajian keamanan (security) cenderung sebagai konsep induk dan meletakan pertahanan (defense) sebagai salah satu dimensi dari konsep keamanan. Seperti yang di katakana buzan bahwa keamana berkaitan dengan kelima sector utama yaitu: militer, politik, ekonomi,  sosial dan lingkungan hidup. Jika melalukan perluasan dimensi keamanan  maka harus di sertai dengan usaha untuk meakukan rekontruksi aktor keamanan. Secara tradisional, kajian keaman menempatkan Negara sebagai aktor utama yang di dasari pada prespektif realis yang mengasumsikan bahwa masyarakat membutuhkan Negara yang berperan seperti monster untuk mengurangi kemungkinan terjadinya konflik antar manusia, hal ini terjadi karena menggunakan kekuatan (power) mengarah kepada pembentukan sistem yang anarki. Karena itu Negara harus diberikan wewenang untuk memonopoli akumulasi power (militer). Hak yang di berikan secara politisi kepada aktor militer sehingga ia muncul sebagai illegal dan tumbuh menjadi kekuatan professional yang dapat membuat komponen-komponen masyarakat tunduk kepada aturan-aturan ketertiban yang dibuat oleh Negara.
Perluasan konsep dan aktor keamanan ini sebenarnya merupakan gagasan dari kaum kontruktivism(contrutivist) yang mengembangkan critical security studies yang memandang konsep keamanan sebagai suatu konsep yang fleksibel yang tergantung dari securitization yang di lakukan actor keamanan terhadap objek keamanan. Tetapi konstribusi penting kaum kontruktivis yang di berikan oleh Barry Buzan  untuk memperingati para pembuat kebijakan untuk tidak terburu-buru mengeskalasi suatu isu keamanan. Suatu isu hanya dapat di kategorikan sebagai isu keamanan jika isu tersebut menghadirkan ancaman nyata (existential threats) terhadap kedaulatan dan keutuhan teritorial Negara.
Isu keamanan juga hanya di tangani oleh actor militer , jika ancaman muncul disertai dengan aksi kekerasan bersenjata dan telah ada kepastian bahwa Negara telah mengeksplorasi semua kemungkinan penerapan strategi non kekerasan. Dan metode ini dapat di terima untuk menjalankan  strategi keamanan nasional. Strategi keamanan merupakan bagian dari konsep responsibility sponsibility to protect terutama berkaitan dengan konsep responsibility to react. ICISS mengetahui bahwa kewajiban Negara untuk melakuka tanggapan dapat melibatkan operasi militer. Namun, ICISS menekan bahwa operasi militer hanya dapat di lakukan untuk kasus-kasus khusus dan jelas yang menunjukan adanya poteni eskalasi kearah terjadinya kekerasan bersenjata massal. Operasi militer untuk mengimplementasikan konsep responsibility to react harus menjadi bagian dari strategi keamanan nasional yang peka terhadap isu human security.
Konsep ‘keamanan’ merupakan wacana dari keamanan nasional yang memiliki penekanan pada pihak yang memiliki otoritas yang mengkonstruksi ancaman atau musuh, yang memiliki kemampuan untuk membuat keputusan dan melakukan penerapan tindakan darurat. Jadi, aktor keamanan memiliki kekuatan diskursif dan politik untuk melakukan securitize terhadap suatu isu ktor keamanan melakukan sekuritisasi untuk menghilangkan suatu ancaman yang sifatnya non-tradisional; lingkungan, ekonomi, kemiskinan, Perubahan eskalasi yang dilakukan aktor untuk merubah isu non-keamanan menjadi isu keamanan dilakukan melalui proses sekuritisasi. Terkait dengan hal ini, Buzan menyatakan bahwa: “traditionally, by saying “security,” a state representative declares an emergency condition, thus claiming a right to use” whatever means are necessary to block a threatening development.”
 Dari argumen Buzan dapat terlihat bahwa negara merupakan aktor dalam proses sekuritisasi. Negala berhak melakukan sekuritisasi untuk melakukan tindakan terhadap suatu ancaman. Terdapat beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan ketika negara melakukan proses sekuritisasi.
·      Proses sekuritisasi; aktor melakukan identifikasi terhadap suatu isu (politik atau non-politik) yang tujuannya merubah isu tersebut menjadi isu keamanan. Aktor yang melakukan sekuritisasi disebut sebagai securitizing actors . Aktor didefinisikan oleh Buzan sebagai, “ who securitize issues by declaring something – a referent object – existentially threatened.”

·      Referent object disini adalah suatu objek (negara atau masyarakat) yang dipandang secara eksistensial terancam dan harus diamankan. Pertanyaan selanjutnya apakah hanya negara yang merupakan aktor tunggal dalam melakukan sekuritisasi? Menurut Buzan ‘tidak’, pada prinsipnya sekuritisasi dapat dilakukan oleh siapapun. Akan tetapi, pada praktiknya, tindakan sekuritisasi cenderung dilakukan oleh pemimpin politik, birokrasi, pelobi, kelompok oposisi, serta kelompok organisasi lainnya. Aktor melakukan sekuritisasi apabila suatu isu dinilai sangat mendesak. Terdapat beberapa klasifikasi isu, seperti: Pertama, isu publik ( non- politicized ) dimana negara tidak mengambil tindakan terhadap isu tersebut. Kedua , politisasi, dimana isu yang ada dimasukkan negara sebagai input dalam suatu kebijakan . Ketiga, sekuritisasi, dimana negara menangani isu melalui tindakan cepat dan bahkan “melanggar” aturan hukum yang ada. Buzan memposisikan sekuritisasi sebagai: “ Security is the move that take politics beyond established rules of the game and frames the issue either as a special kind of  politics or as above politics. Securitization can thus be seen as a more extreme version of politicization.”