Sabtu, 25 Agustus 2018

FEMINIST INTERNATIONAL RELATIONS


FEMINIST INTERNATIONAL RELATIONS

Feminisme adalah suatu studi yang memandang tentang perempuan dan pergerakan perempuan bukan sebagai obyek dari ilmu pengetahuan, melainkan sebagai subjeknya. Teori feminisme merupakan teori sebagai upaya atas kritikan terhadap studi laki-laki untuk mentransformasikan tekanan struktural, dimulai dari pengalaman tekanan sebagai perempuan. Feminisme merupakan sebuah gerakan wanita yang menuntut kesamaan dan kesetaraan hak dan keadilan antara laki-laki dan perempuan karena kaum perempuan merasa dirugikan, dimarginalkan dan di nomor duakan dalam segala bidang kehidupan. Feminisme muncul untuk mendobrak kesubordinatan wanita dibawah. Feminisme dalam bahasa sederhana adalah “tidak hanya menyangkut persoalan perempuan ataupun sekedar menambahkan perempuan kedalam konstruksi laki-laki (male construction), melainkan menyangkut pandangan kita terhadap politik global dalam melihat isu gender dan perempuan.
Asumsi dasar kaum feminis, menurut Steans adalah: (1) Kaum feminis tidak menganggap human nature sebagai hal yang immutable atau abadi; percaya bahwa manusia adalah makhluk rasional, tetapi juga bahwa kapasitas manusia berkembang melalui proses pendidikan dan menganggap human nature sebagai yang dibedakan atau konstruksi sosial. (2) Dari perspektif feminis, kita tidak dapat membuat perbedaan yang jelas antara ‘fakta’ dan ‘nilai’. (3) Ada hubungan erat antara knowledge dan power. (4) memiliki tujuan emansipasi dan ‘pembebasan’ perempuan. Lebih lanjut, Feminisme berargumen bahwa perempuan harus dimasukkan dalam bidang kehidupan publik yang sebelumnya menolak adanya perempuan.

Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh gerakan feminisme :
  1.  Tercapai kesamaan hak dan kedudukan laki-laki dan perempuan sebagai manusia bebas, baik dalam dunia publik maupun privat.
  2. Penghapusan segala perbedaan gender dalam masyarakat.
  3.   Kebebasan individu untuk memilih dan memutuskan sesuai keinginan dan aspirasinya.

Sejarah perkembangan feminisme dapat dibagi menjadi tiga gelombang. Gelombang pertama terjadi pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Pada gelombang pertama, perjuangan yang dilakukan ialah agar perempuan mendapatkan kesempatan yang sama dalam bidang politik, misalnya dapat mengikuti pemilihan umum. Gelombang kedua terjadi sekitar tahun 1960-an hingga 1970-an. Pada gelombang kedua ini perjuangan perempuan mendapat kesetaraan dalam bidang pekerjaan. Hingga pada tahun 1990an hingga sekarang ini terjadi gelombang ketiga feminisme dimana kesetaraan dalam ras dan warna kulit diupayakan Jill Steans mengusulkan perubahan konsepsi gender dengan tidak lagi berkutat pada isu perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang sifatnya dikotomis tapi lebih melihat relasi gender (gender relations) antar keduanya. Lebih jelasnya, Connell kemudian mendefinisikan gender sebagai ”a matter of the social relations within which individuals and groups act.” Steans juga mengartikan gender sebagai ”ideological and material relations” yang eksis diantara laki-laki dan perempuan. Kedua definisi ini menunjukkan bahwa konsepsi relasi gender tidak hanya mencerminkan hubungan personal dan sosial tapi juga hubungan kekuasaan dan simbolik.
Konsep relasi gender, yang mengandung unsur kekuasaan dan simbolisasi, pada akhirnya mempengaruhi kompleksitas isu gender dalam studi dan praktek hubungan internasional. Manifestasi kedua unsur tersebut tidak hanya berupa material, tapi juga non material sehingga meningkatkan signifikansi perspektif gender dalam memahami politik internasional. Unsur kekuasaan dan simbolisasi dalam relasi gender yang bersifat non material dapat berupa diskursus teori dan paradigma dalam bahasa tertulis atau tidak tertulis. Dalam konteks ini, melihat isu relasi gender dalam hubungan internasional menjadi penting karena hubungan internasional sebagai suatu studi bertanggung jawab dalam ”the production of knowledge and discourse.” Ketika berbicara mengenai feminisme, hal yang perlu diingat adalah bahwa istilah feminisme dan maskulinisme harus dibedakan ke dalam ranah gender dan bukan sebagai klasifikasi seks. Pada dasarnya, gender merupakan konsep budaya yang diberikan seseorang karena ia terlahir dengan jenis kelamin tertentu. Sebagai akibat dari suatu proses kebudayaan, maka seringkali terdapat perbedaan perlakuan antara laki-laki dengan perempuan dalam peranan sehari-hari, yang kemudian menjadi stereotype tertentu di dalam masyarakat.
Perspektif feminisme muncul pada sekitar tahun 1970-an Kaum feminis memandang bahwa power sendiri merupakan sebuah kemampuan power yang melebihi power aktor lain, politik internasional sebagai negasi dari politik domestik, dan mengangkat tema-tema soft politics dalam studi Hubungan Internasional.
Perspektif ini mulai muncul pada tahun 1980-an dan diperdebatkan di forum terbuka penstudi hubungan internasional, di mana dalam forum tersebut kaum feminis mengutarakan pendapatnya tentang posisi dalam hubungan internasional. Selain itu, feminism juga hadir sebagai kritik esensi hubungan internasional yang dianggap bersifat gender bias. Gender bias yang dimaksudkan disini ialah ketika terdapat perlakuan yang tidak sama dalam aspek pekerjaan ataupun sektor publik yang hanya bias dan mendukung gender tertentu dan mendiskriminasi gender lainnya. Dalam perkembangannya, kaum feminis meyakini bahwa peranan wanita yang termarjinalkan merupakan wujud dari konstruksi sosial yang dogmatis. Lebih jauh lagi, Fakta mengenai marjinalisasi kaum wanita pada dasarnya berkaitan erat dengan nilai yang diyakini masyarakat bahwa pria cenderung bersifat maskulin. Nilai maskulinitas itulah yang kemudian berkembang begitu masif dan diyakini oleh kaum feminis sebagai gagasan subjektif para pembuat teori dengan kepemilikan otoritas di bawah perlindungan pengetahuan. Oleh karena itu, agenda utama kaum feminis adalah menjadi pelopor gerakan emansipatif yang berusaha menuntut kesetaraan gender yang diakui secara universal.
Kemudian terdapat beberapa asumsi mengenai feminism, menurut Jill Stean terdapat empat hal yang menjadi asumsi feminism yaitu, pertama sifat manusia menurut feminis ialah sebuah sifat yang berubah-ubah dimana kapasitas manusia terus berkembang melalui proses pendidikan. Kedua  dari perspektif feminism kita dapat melihat perbedaan yang kentara antara “fakta” dengan “nilai. Ketiga  feminisme menyatakan bahwa terdapat suatu hubungan yang erat antara pengetahuan dan kekuasaan dan antara “teori” dengan apa yang kita praktikkan berhubungan dengan lingkungan fisik dan sosial kita. Keempat Post-strukturalis terpisah (post-strukturalis menolak klaim universal) dimana feminism  memiliki komitmen yang sama pada ide kemajuan sosial, kebebasan, dan emansipasi kaum perempuan.
Dalam Hubungan Internasional terdapat tiga pendekatan teoritis utama pada gender, antara lain feminimisme liberal, feminimisme marxis atau sosialis, dan feminisme radikal, yaitu ;
Pertama adalah Asumsi dasar dari Feminisme Liberal ini adalah bahwa kebebasan dan keseimbangan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Dasar dari perjuangan mereka adalah untuk mendapatkan persamaan dan kesetaraan akan hak dan kesempatan bagi setiap individu, terutama perempuan atas dasar persamaan keberadaannya sebagai makhluk rasional, karena pada dasarnya, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, keduanya adalah sama. Laki-laki dan perempuan merupakan makhluk yang sama-sama memiliki kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional. Akar dari segala ketertindasan dan keterbelakangan perempuan itu disebabkan oleh perempuannya itu sendiri. Namun permasalahannya adalah terletak pada produk kebijakan yang bias gender, sehingga memunculkan gerakan-gerakan feminisme liberal yang menuntut akan kesamaan pendidikan, kesamaan hak politik dan ekonomi, juga disertai dengan pembentukan organisasi perempuan untuk membasmi diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal.
Kaum feminisme liberal menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum pria, sehingga segala kebijakan yang ada akan didominasi oleh pengaruh yang sangat kuat dari para kaum pria tadi, sehingga seolah-olah negara itu bersifat “maskulin”, sedangkan wanita hanya ada “diam” dalam negara tersebut, hanya sebagai warga negara, bukan sebagai orang-orang yang berpengaruh dalam pemerintahan, bukan sebagai pembuat kebijakan. Dari hal tersebut pun dapat dilihat ketidaksetaraan dalam bidang politik atau kenegaraan. Feminisme liberal pun mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan oleh wanita memperlihatkan kaum perempuan sebagai subordinat atas kaum pria, kaum perempuan cenderung termaginalkan. Feminisme Liberal percaya bahwa kesetaraan dan keadilan gender akan bisa dicapai dengan menghapuskan hambatan yang bersifat regulatif (terkait dengan peraturan hukum), yang membedakan hak laki-laki dan perempuan.[22] Ketidaksetaraan dalam bidang politik membuat mereka untuk membuat sebuah gerakan yang memiliki tujuan untuk mengintegrasikan diri mereka kedalam perpolitikan global disemua tingkatan.
Kedua dari kaum feminis adalah Marxis feminisme atau historical materalism feminism. Kaum ini mengkaitkan permasalahan yang selama ini diderita perempuan dengan kapitalisme. Jika kaum Marxis menginginkan adanya kesetaraan antar kelas, kaum Marxis feminis juga mengiginkan adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Menurut kaum ini, selama ini dunia memandang remeh peran wanita yang lemah dan tidak mampu bekerja dengan baik sesuai kebutuhan ekonomi dunia. Wanita yang ditempatkan sebagai ibu rumah tangga dianggap memiliki pekerjaan yang remeh dan tidak dapat dikaterogikan sebagai bentuk pekerjaan atau bentuk produksi. Kaum ini menolak pemikiran tersebut dan memandang bahwa selama ini peran perempuan menjadi melemah akibat adanya kapitalisme.
Ketiga, Feminist radikal  mulai berkembang pada akhir tahun 1960- an atau awal tahun 1970-anmelihat bahwa akar penindasan kaum perempuan oleh laki-laki berasal dari perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki serta ideology patriarki. Jill Steans (1998) menambahkan bahwa feminist radikal ini mengartikulasikan bahwa personal is political sehingga menurut perspektif ini pembebasan perempuan tidak hanya meliputi pencapaian kesamaan dalam hak, akses pubik, dan alat-alat produksi, namun juga melalui transformasi ranah yang paling privat dalam hubungan antar manusia.   mencoba membangun pandangannya dengan menyatukan teori liberal dan marxis, serta mengambil beberapa sumber lainnya seperti dimensi reproduksi kehidupan manusia yang sering dilupakan. Kelompok Feminist radikal tersebut percaya bahwa sistem patriakilah yang menyebabkan adanya penindasan kepada kaum perempuan. Perempuan dan laki-laki di kelompokan dalam kelompok homogen dan laki-laki memegang kekuasaan atas perempuan sehingga patriarki menjadi fitur struktural dari semua perintah sosial.

No
Teori gelombang ketiga
Dasar pemikiran
Isu feminis
1

Feminisme post-modern
Seperti aliran post moderenisme menolak pemikiran phalogosentris yaitu ide-ide yang kuasai oleh logo absolut yakni “laki-laki bereferensi pada phallus
Sesuatu yang lebih dari kondisi inferioritas dan ketertindasan tetapi juga merupakan cara berbeda, cara berpikir, berbicara, keterbukaan, pluralitas, diversitas dan perbedaan.
2

Feminisme multikultural
Sejalan dengan filsafat postmodern tetapi lebih menekan pada kajian kultur
Penindasan terhadap perempuan tidak hanya lewat patriarki tetapi ada keterhubungan masalah dengan ras, etnisitas dsb. Didalam feminisme global bukan hanya ras dan etnisitas tetapi hasil kolonialisme dan dikotomi dunia pertama dan dunia ketiga.

Pada dasarnya, gender merupakan konsep budaya yang diberikan seseorang karena ia terlahir dengan jenis kelamin tertentu. Sebagai akibat dari suatu proses kebudayaan, maka seringkali terdapat perbedaan perlakuan antara laki-laki dengan perempuan dalam peranan sehari-hari, yang kemudian menjadi stereotype tertentu di dalam masyarakat. Kaum feminisme kemudian mengembangkan konsep gender sebagai alat untuk mengenali bahwa perempuan tidak di hubungkan dengan laki-laki di setiap budaya dan kedudukan perempuan di masyarakat pada akhirnya berbeda-beda. maka sejak saat itu feminist mengusungkan konsep gender equality atau kesetaraan gender sebagai gerakan mainstream mereka. Gender di pengaruhi oleh kondisi sosial, budaya, agama dan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Gender juga tidak hanya terdiri dari dua jenis yaitu maskulin dan feminist tetapi juga kaum homoseksual.