BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Arus
globalisasi dan dampak dari krisis dunia telah menyebabkan peningkatan aksi-aksi
kejahatan yang melintas batas suatu negara (transnational crime). Kawasan Asia
Tenggara telah menjadi salah satu kawasan yang berpotensi dijadikan kawasan
jaringan kejahatan internasional. Dibukanya pasar bebas Asia Tenggara (AFTA)
tahun 2003 merupakan salah satu celah yang telah di manfaatkan oleh pelaku
kejahatan transnasional untuk mengembangkan pengaruhnya. Selain itu,
negara-negara dikawasan Asia Tenggara cenderung memiliki institusi dan lembaga
pemerintahan yang lemah serta korup. Hal ini menjadi faktor pendorong
peningkatan kejahatan transnasional. Salah satu dari kejahatan internasional
adalah perdagangan narkotika ilegal.
Asia
Tenggara merupakan salah satu kawasan yang tingkat kejahatan transnasionalnya
relatif tinggi khususnya perdagangan narkotika. Hal ini disebabkan karena
kejahatan transnasional marak terjadi di kawasan dimana negara negaranya diatur
oleh pemerintahan yang korup dan lembaga pemerintahan yang lemah. Faktor
tersebut merupakan latar belakang tingginya tingkat kejahatan transnasional
khususnya peredaran narkotika di Asia Tenggara.
Menurut
WHO (1982) narkoba (narkotika dan obat atau bahan berbahaya) adalah semua zat
padat, cair maupun gas yang dimasukkan kedalam tubuh dapat merubah fungsi dan
struktur tubuh secara fisik maupun psikis termasuk makanan, air dan oksigen
dimana dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi tubuh normal [1].
Contohnya seperti opioda (morfin, heroin), kokain, ganja, dan alkohol yang mana
memiliki efek dapat merubah fungsi berpikir, perasaan dan perilaku orang yang
memakainya namun sayang seringkali zat yang seharusnya berfungsi sebagai obat
malah disalahgunakan dengan cara dipakai dalam dosis yang kecil maupun besar
untuk dinikmati efeknya, penyalahgunaan ini dapat menyebabkan ketergantungan.
Kejahatan
perdagangan narkotika memiliki ciri-ciri: terorganisir (organized crime),
berupa sindikat, terdapat suatu dukungan dana yang besar serta peredarannya
memanfaatkan teknologi canggih. Modus peredaran gelap narkotika internasional
selalu melibatkan warga negara asing dan berdampak terhadap teritorial dua
negara atau lebih serta selalu didahului persiapan atau perencanaan yang dilakukan
diluar batas teritorial negara tertentu. Semakin canggih teknologi telah
dimanfaatkan oleh pelaku perdagangan narkotika ilegal untuk menyelundupkan
narkotika illegal dari suatu negara ke negara lain seperti penggunaan kapal
selam dan pesawat terbang. Adapun modus lain dari pengedar narkotika adalah
menggunakan wanita sebagai kurir. Penggunaan wanita sebagai kurir narkotika
dianggap sebagai cara aman dan tidak dicurigai oleh pihak keamanan suatu
negara. Berkaitan dengan perdagangan narkotika ilegal ada tiga elemen penting
didalamnya yaitu daerah yang menjadi pemasok, orang atau organisasi yang
mendistribusikan narkotika serta pengguna atau pemakai narkotika.
Dengan
jumlah penduduk Asia Tenggara yang hampir 500 juta jiwa, menjadikan wilayah ini
bukan saja sebagai produksi terbesar obat-obatan berbahaya, namun juga sebagai
pasar yang cukup potensial bagi para produsen dan pengedar narkotika.
Perdagangan narkotika ilegal tidak terlepas dari Asia Tenggara merupakan salah
satu penghasil obat-obatan terlarang terbesar didunia setelah “Bulan Sabit
Emas” (Afganistan, India, Pakistan) dan Colombia. Sebutan “Segitiga Emas” atau
The Golden Triangle yang merupakan daerah perbatasan Thailand, Myanmar dan Laos
merupakan penghasil 60 persen produksi Opium dan Heroin di dunia
(www.deplu.go.id). Jaringan Golden Triangle yang beroperasi di Myanmar, Burma,
Thailand, Amerika Selatan dengan pusatnya Bangkok, Thailand, memiliki
keterlibatan dengan kelompok jaringan internasional Golden Crescent yang
beroperasi di Iran, Pakistan dan Afghanistan dengan pusatnya di Pakistan
(www.tempo.co.id). Perdagangan narkotika tidak lepas dari peranan kelompok
sindikat perdagangan narkotika internasional yang berperan sebagai drug dealer
dalam menyelundupkan narkotika ke kawasan Asia Tenggara.
Munculnya
berbagai masalah dan hambatan yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan dan
perdagangan narkotika ilegal ini membuat keberadaan suatu organisasi yang dapat
menanggulangi masalah tersebut dirasakan sangat perlu.
Kerjasama
antar negara dalam pemberantasan peredaran gelap narkotika harus dikembangkan
karena tidak mungkin suatu negara dapat memberantas peredaran gelap narkotika
berdimensi internasional.
Dalam
hal ini penulis mengangkat pembahasan mengenai perjalanan perdagangan narkotika
Asia Tenggara. Dinilai cukup tinggi hal ini dibuktikan dengan adanya Golden
Triangle atau segitiga emas negara pusat produksi, penyelundupan dan
perdagangan narkotika terbesar di Asia Tenggara. Golden Triangle beranggotakan
Thailand, Myanmar dan Laos dimana Myanmar sebagai salah satu opium terbesar di
dunia sementara Laos sebagai negara penghasil opium terbesar kedua dan Thailand
mendominasi produksi narkotika jenis ekstasi, sabu sabu dan narkotika cair
lainnya di Asia Tenggara. Fakta inilah yang menjadi faktor utama mengapa Thailand
pernah menjadi negara dengan tingkat pengguna narkotika tertinggi di dunia,
sementara Phnom Penh Kamboja merupakan pusat money laundering (pencucian uang)
dari hasil keuntungan penjualan narkotika dan kejahatan transnasional lainnya
seperti penyelundupan senjata ilegal, perdagangan manusia, cyber crime, dan
lain sebagainya[2].
Myanmar
merupakan poin penting dalam Golden Triangle karena Myanmar bertugas sebagai
distributor opium ke seluruh dunia, Myanmar bukan lagi sebagai negara transit
dari narkotika namun sebagai negara pembuat narkotika nomor satu. Selama
ratusan tahun, provinsi Shan dari Myanmar yang sebelah timurnya berbatasan
dengan Cina, sebelah baratnya berbatasan dengan Thailand dimana kota Maesai
berada menjadi tempat ladang opium yang paling utama karena selain tanah dan
iklimnya cocok, lokasinya juga strategis karena terisolir.[3]
Berbeda dengan Kolombia atau kawasan Amerika Latin lainnya yang lebih
didominasi oleh peredaran dan perdagangan kokain, Asia Tenggara merupakan kawasan
pusat produksi heroin, opium dan sejenisnya yang merupakan olahan dari tanaman
opium poppy. Di kawasan The Golden Triangle, heroine di distribusikan ke
Thailand melalui rute khusus perdagangan gelap narkoba. Narkotika lainnya masuk
ke provinsi Yunnan-Cina dan tujuan akhirnya adalah Guangdong, Hongkong dan
Macau. Disamping itu Ho Chi Minh City, Manila dan Phnom Penh juga menjadi
komponen penting dalam hal distribusi drugs ke pasar internasional, karena
tujuan distribusi yang berbeda membuat narkotika tersebut harus melewati tempat
atau negara transit untuk memberika supply terhadap pasar domestik dan pasar
internasional.[4]
Peredaran
Narkotika tidak hanya terjadi sebatas pada negara anggota Golden Triangle saja
namun di tiap tiap negara Asia Tenggara pasti menghadapi masalah yang sama
seperti di negara Brunei Darussalam terdapat methampetamine kristal, cannabis
(ganja) dan ekstasi menjadi fokus pemerintahan karena penggunaannya yang
meningkat drastis. Sementara
itu di Kamboja di dominasi oleh methamphetamine pil, kristal dan juga bubuk. Di
Indonesia sendiri merupakan negara penghasil ganja (cannabis/marijuana)
terbesar terutama di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dimana disana banyak
terbentang ladang ganja dan ditunjang dengan iklim dan kondisi tanah disana
yang membuat tanaman ini tumbuh subur tanpa metode pertanian, selain ganja di
Indonesia juga terdapat heroin, ekstasi dan sabu sabu. Laos
sebagai anggota dari Golden Triangle memiliki empat jenis narkotika yang
beredar disana antara lain adalah heroin, cannabis (ganja), opium,
methampethamine pils. Malaysia jenis narkotikanya sangat variatif antara lain
heroin, morfin, cannabis, opium ekstasi meskipun bervariasi jenis narkotika
yang masuk tapi Malaysia berhasil melakukan penanggulangan permasalahan yang
ada. Myanmar juga sebagai anggota dari Golden Triangle sudah jelas bahwa
merupakan negara sebagai penghasil dan pengedar heroin terbesar karena disana
terdapat ladang opium yang merupakan bahan dasar dari heroin. Di Filipina
narkotika yang mendapat perhatian pemerintah adalah sabu sabu dan cannabis, di
Singapura juga bervariasi jenis narkotika yang masuk tetapi karena kondisi
geografis Singapura yang relatif kecil membuat pemerintah mampu mengatasi
penanganan produksi dan penggunaan narkotika dengan efektif.
Sementara
itu di Thailand yang juga merupakan negara anggota dari Golden Triangle yang
juga menjadi negara transit narkotika ke pasar internasional, jenis narkotika
yang banyak disini adalah ya’ba. Dan Vietnam juga merupakan negara yang sukses
menanggulangi peredaran narkotika di negaranya dan jenis narkotika yang sempat
beredar disana adalah heroin.
Dalam
menghadapi peredaran narkotika Asia Tenggara yang semakin meningkat, sebagai
Asosiasi Bangsa Bangsa Asia Tenggara
yang berdiri pada tanggal 8 Agustus 1967 dengan tujuan mengembangkan
kawasan yang terintegrasi dalam bentuk komunitas, ASEAN melakukan
penanggulangan terhadap permasalahan regional yang dihadapi oleh negara
anggotanya.
ASOD ( ASEAN Senior Officials on Drugs Matters ) merupakan
organisasi bentukan ASEAN pada tahun 1984 yang bertugas dan bertanggung jawab
dalam penanggulangan masalah narkoba melalui konsolidasi dan upaya bersama di
bidang hukum, kerjasama internasional, penyusunan undang undang serta
peningkatan partisipasi organisasi organisasi non pemerintahan, membuat agenda,
merencanakan proyek kerjasama terkait permasalahan narkotika serta menghasilkan
rekomendasi dari hasil kerja kelompok yang diwadahi oleh ASOD sendiri. Selain
ASOD juga terdapat Senior Official Meeting on Transnational Crime ( SOMTC ),
ASEAN and China Cooperative Operation in Response to Dangerous Drugs ( ACCORD
), dan ASEAN-EU sub Committe on Narcotics.[5]
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang
telah dijabarkan diatas maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
“Mengapa
ASEAN berperan dalam Menanggulangi Penyalahgunaan dan Perdagangan Narkotika di
Asia Tenggara ? ” Dan Bagimana Kebijakan ASEAN Dalam Menanggulangi
Penyalahgunaan dan perdagangan Narkotika Di asia Tenggara?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perdagangan Narkotika di Asia
Tengara
Beberapa
negara Asia Tengara merupakan produsen utama narkotika dan sebagai tempat
transit obat – obatan terlarang yang akan diekspor ke Amerika Utara, Eropa, dan
Negara – Negara di Asia lainya. Segitga Emas adalah salah satu wilayah
penghasil narkotika yang terkemuka di dunia. Perdagangan narkoba di Segitga
Emas tidak lagi sebuah industri berbasis individu dan tersebar seperti di tahun
1980-an, tetapi telah menjadi sangat cangih dan terorganisir, terutama di
bagian utara Myanmar. Budidaya opium, pembelian, transportasi, produksi, dan penjualan,
meskipun tersebar tetapi terkordinasi dengan baik. Sebelumnya, bisnis narkoba
dijalankan oleh satu Mafia lokal, benar-benar mengendalikan perusahan di wilayahnya
sendiri. Tapi harini agen sering bekerja sama untuk menjalankan perusahan obat
di wilayah masing- masing. Sebagai contoh, pada tahun 198, di antara lebih dari
empat puluh pabrik obat di sepanjang perbatasan Myanmar-Cina yang dioperasikan oleh
dua atau lebih mafia narkoba yang terpisah.
2.2. Peran ASEAN dalam
Menanggulangi Penyalahgunaan dan Perdagangan Narkotika
ASEAN
merupakan organisasi yang terbentuk sebagai penganti dari persatuan asia
tengara yang saat itu hanya terdiri dari tiga Negara diantaranya yaitu Filpina,
Thailand dan Malaysia. ASEAN terbentuk pada 6 Agustus 1987 di Bangkok,
Thailand. Pada saat pembentukan ASEAN hanya terdiri dari 5 negara sebagai
angotanya yaitu Filipina, Indonesia, Thailand, Singapura, dan Malaysia.
Dalam
kasus penelitan ini, fungsi Asociation of South East Asia Nation (ASEAN)
sebagai organisasi internasional adalah mewujudkan kerjasama aktif dan saling
membantu dalam masalah kepentingan bersama dalam memberantas narkotika.
·
Peranan
Organisasi Internasional
Peranan
organisasi internasional dapat digambarkan sebagai individu yang berada dalam
lingkungan masyarakat internasional. Sebagai anggota masyarakat internasional,
organisasi internasional harus tunduk pada peraturan-peraturan yang telah
disepakati bersama. Selain itu, melalui tindakan anggotanya, setiap angota
tersebut melakukan kegiatan- kegiatan dalam rangka mencapai tujuanya. ASEAN
dapat dikatakan menjalankan fungsinya sebagai suatu organisasi internasional
yang difokuskan pada urusan memerangi narkotika dengan mendirikan sebuah
organisasi dan membentuk kerjasama dengan berbagai pihak.
Negara-negara
yang tergabung dalam keangotan suatu Organisasi Internasional berhak meminta
bantuan berupa saran, rekomendasi atau aksi langsung berkaitan dengan
masalah-masalah dimana pemerintah tidak dapat mengambil resiko dengan hanya
bertindak melalui kebijakan nasionalnya. Bahkan sat ini Organisasi
Internasional dapat mempengaruhi tingkah laku negara secara tidak langsung,
dimana kehadiran mereka -organisasi internasional – mencerminkan kebutuhan suatu
masyarakat dunia untuk bekerjasama dalam menangani suatu permasalahan.
Peranan
Organisasi Internasional terbagi dalam 3 (tiga) kategori,
adalah sebagai berikut :
1. Sebagai
instrumen, yaitu organisasi internasional digunakan oleh negara-negara
angotanya untuk mencapai tujuan tertentu berdasarkan tujuan politk luar
negerinya.
2. Sebagai
arena. organisasi internasional merupakan tempat bertemu bagi angota-angotanya
yang membahas dan membicarakan masalah-masalah yang dihadapi. Tidak jarang
organisasi internasional digunakan oleh beberapa negara untuk mengangkat
masalah dalam negerinya, ataupun mengangkat masalah dalam negeri orang lain dengan
tujuan untuk mendapat perhatian internasional.
3. Sebagai
aktor independen. organisasi internasional dapat membuat keputusan-keputusan
sendiri tanpa dipengaruhi oleh kekuasan atau paksan dari luar organisasi.
(Archer dalam Perwita & Yani, 205 :95).3.
Jelas di atas bahwa suatu organisasi Internasional hanya bisa melakukan tugas dan fungsinya dengan mengambil keputusan dari tubuh Organisasi internasional terkait. Dengan demikian semakin jelas bahwa organisasi internasional merupakan non-state actor (Aktor Non Negara)
yang mempunyai kedudukan dalam
sistem Internasional. Organisasi internasional sangat berperan sebagai aktor
hubungan internasional karena organisasi internasional sebagai wadah atau instrument
bagi koalisi antar angota atau kordinasi kebijakan antar pemerintah, seperti
bagaimana ASEAN(Asociation of South East Asia Nation) berperan di Asia Tengara
dalam memerangi narkotika di seluruh negara-negara angota ASEAN.
2.3
Kebijakan ASEAN dalam Menanggulangi Penyalahgunaan dan Perdagangan Narkotika.
Masalah
penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang (narkotika) dalam kurun
waktu tiga dasa warsa terakhir ini bukan saja menjadi masalah nasional dan
regional ASEAN tetapi juga menjadi masalah internasional karena itu, upaya
penanggulangan masalah penyalahgunaan narkotika dalam negeri harus disenergikan
dan diitegrasikan dengan kebijakan penanggulangan masalah narkotika melalui
kerjasama regional maupun internasional.
Kebijakan global penanggulangan kejahatan narkotika pada awalnya dituangkan dalam The United Nation's Single Convention on Narcotic Drugs 1961. Konvensi ini pada dasarnya dimaksudkan untuk 1. Menciptakan satu konvensi internasional yang dapat diterima oleh negara-negara di dunia dan dapat mengganti peraturan mengenai pengawasan internasional terhadap penyalahgunaan narkotika yang terpisah-pisah di 8 bentuk perjanjian internasional.
2. Menyempurnakan cara-cara pengawasan
peredaran narkotika dan membatasi penggunaannya khusus untuk kepentingan
pengobatan dan pengembangan ilmu pengetahuan; dan
3. Menjamin adanya kerjasama internasional
dalam pengawasan peredaran narkotika untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut
diatas.
Kebijakan
penanggulangan penyalahgunaan narkotika di tingkat regional Asia Tenggara
disepakati dalam ASEAN Drugs Experts Meeting on the Prevention and Control of
Drug Abuse yang diselenggarakan pada tanggal 23-26 Oktober 1972 di Manila.
Tindak lanjut dari pertemuan di atas adalah ASEAN Declaration of Principles to
Combat the Abuse of Narcotic Drugs, yang ditanda tangani oleh para Menteri Luar
Negeri negara-negara onggota ASEAN pada tahun 1976. Isi dari deklarasi regional
ASEAN ini meliputi kegiatan-kegiatan bersama untuk meningkatkan :
1. Kesamaan
cara pandang dan pendekatan serta strategi penanggulangan kejahatan
narkotika.
2. Keseragaman peraturan perundang-undangan di
bidang narkotika
3. Membentuk badang koordinasi di tingkat
nasional; dan
4. Kerja sama antar negara-negara ASEAN secara
bilateral, regional, dan internasional.
Dalam rangka ini kemudian dibentuk The
ASEAN Senior Officials on Drugs dan satu Forum Kerja Sama Kepolisian antar
negara-negara ASEAN (ASEANAPOL) yang antara lain bertugas untuk menangani
tindak pidana narkotika transnasional di wilayah ASEAN. Selain iru, di tingkat
negara-negara ASEAN juga dibentuk Narcotic Boarrd dengan membentuk kelompok
kerja penegakan hukum, rehabilitasi dan pembinaan, edukasi preventif dan
informasi, dan kelompok kerja di bidang penelitian. Pada tahun 1992 dicetuskan
Deklarasi Singapura dalam ASEAN Summit IV yang menegaskan kembali peningkatan
kerjasama ASEAN dalam penegakan hukum terhadap kejahatan narkotika dan
lalu-lintas perdagangan narkotika ilegal
pada tingkatan nasional, regional, maupun internasional.
Kejahatan
transnasional di Asia Tenggara merupakan masalah yang penting dan perlu untuk
dibahas dalam konteks ASEAN dan keamanan regional. Kejahatan transnasional menimbulkan
ancaman bagi negara, perekonomian negara dan masyarakat sipil. Aktor non negara
dapat menggunakan kejahatan transnasional untuk mempromosikan tujuan politik
mereka, kelompok ini mendapat kekuatan dari kemampuan mereka untuk menjalin
hubungan lintas batas-batas negara. Organisasi kejahatan transnasional
mengambil keuntungan dari pejabat dan politikus yang korup serta lemahnya
lembaga penegak hukum untuk memperluas
pengaruhnya eksistensinya.
Perdagangan
narkoba selalu terkait dengan pencucian uang yang merupakan salah satu
kejahatan transnasional yang paling berbahaya.
Kegiatan perdagangan narkotika
merupakan tantangan terhadap kedaulatan nasional dan integritas negara serta
mengancam kelangsungan pemerintahan yang sah. Selain itu, kejahatan pencucian
uang hasil narkotika melemahkan kredibilitas lembaga keuangan dan mengganggu
ketertiban sosial.
Pada dasarnya
sekuritisasi dipahami sebagai proses politik untuk menjadikan suatu masalah/
isu yang tadinya bukan masalah/isu militer menjadi masalah keamanan, dengan
melihat isu/masalah tersebut dari sisi security, sehingga kemudian menjadi
isu/masalah tersebut dijadikan agenda nasional suatu negara. Konsep
sekuritisasi sendiri merupakan konsep baru yang berkaitan dengan power of idea,
yang dipahami sebagai kemampuan untuk memproduksi ide dan menghasilkan sebuah
discourse untuk mempengaruhi pihak lain. Unsur political process dalam tahapan
sekuritisasi menunjukan besarnya peran negara. Isu awalnya bukanlah prioritas
negara kemudian beranjak menjadi masalah keamanan nasional, di mana negara
berhak untuk sepenuhnya concern dalam isu tersebut. Kerjasama ASEAN dalam
menangani masalah perdagangan narkotika tercakup dalam wadah ASEAN Senior
Official on Drug Matters (ASOD).
Kerjasama ini dimulai
pada saat ASEAN Ministerial Meeting (AMM) di Manila 26 Juni 1976, dengan ditandatanganinya ASEAN
Declaration of Principle to Combat the Abuse of Narcotics Drugs. Pada tahun
1982 dibentuk ASEAN Drugs Experts, sebagai subkomite dibawah Comimittee on
Social Development (COSD) dan Narcotic Desk di Sekretariat ASEAN.
Pada sidang tahunan yang ke 8 di
Jakarta, ASEAN Drugs Experts mengubah namanya menjadi ASEAN Senior Official on
Drug Matters(ASOD) sebagai wadah bagi negara-negara ASEAN untuk bekerjasama dalam
menangani masalah narkoba dan obat-obatan terlarang.
Pada
pertemuan ke 17 ASOD pada bulan oktober 1994 dihasilkan rencana kegiatan ASEAN
Plan of Action on Drug Abuse Control yang meliputi empat bidang prioritas
diantaranya pendidikan untuk penyalahgunaan narkoba, perawatan dan
rehabilitasi, pemberdayaan dan penelitian. ASEAN juga merumuskan kebijakan
melawan kejahatan perdagangan narkotika, kebijakan tersebut meliputi ASEAN
Ministerial Meeting on Transnational Crime (AMMTC), ASEAN Finance Ministers
Meeting (AFMM), ASEAN Chiefs of National Police (ASEANOPOL), dan ASEAN Senior
Officials on Drugs Matters (ASOD).
ASEAN
juga menjalin kerjasama dengan China dan United Nation International Drug
Control Programme (UNDCP), salah satu organ PBB yang bergerak dibidang
penanggulangan masalah narkotika. Pada perkembangannya, baik China maupun
UNDCP, tanggal 11-13 Oktober 2000 ikut berpartisipasi secara aktif. Kongres
yang bertema “In Pursuit of a Drug Free ASEAN 2015. Sharing the Vision, Leading
the Change” tersebut menghasilkan dua hal penting, yaitu sebuah deklarasi
politik dan sebuah plan of action yang berjudul “ACCORD-ASEAN and China
Cooperative Operation in Response to Dangerous Drug”.
Pentingnya
masalah pengawasan dan pencegahan penggunaan obat-obatan berbahaya telah
mendorong ASEAN Drug Experts untuk menetapkan suatu pendekatan regional. Pada
sidang yang ke 8 ASEAN Drugs Experts berhasil mengesahkan “ASEAN Regional
Policy and Strategy in The Prevention and Control of Drug Abuse and Illicit
Trafficking”. Kebijakan dan strategi tersebut membawa dimensi baru pada
persepsi dan pendekatan untuk memberantas narkoba yaitu dengan memandang maslah
ini tidak hanya sebagai masalah sosial dan kesehatan saja tetapi juga
mempertimbangkan dampaknya terhadap masalah keamanan, stabilitas, kesejahteraan
dan ketahanan nasional.
“ASEAN
Regional Policy and Strategy in The Prevention and Control of Drug Abuse and
Illicit Trafficking” pada dasarnya berisikan tiga komponen utama,yakni:
a)
Kebijakan (policy)
Komponen
ini mendorong negara-negara ASEAN untuk dapat menyelaraskan pandangan,
pendekatan, strategi dan koordinasi yang lebih efektif pada tingkat nasional,
regional dan internasional, serta memberdayakan Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) di dalam upaya untuk mengatasi masalah narkoba
b)
Pendekatan (approach)
Komponen
kedua ini dimaksudkan untuk mendorong negara-negara ASEAN untuk segera
menerapkan pendekatan keamanan dan kesejahteraan secara seimbang (a balanced
security and prosperity approach) di dalam mengatasi masalah narkoba yang
selanjutnya harus tersermin didalam implementasi program-program dan
kegiatan-kegiatannya.
c)
Strategi (strategies)
Komponen
ketiga ini merekomendasikan untuk menempuh berbagai langkah terpadu untuk
mengurangi persediaan atau peredaran (supply) dan permintaan (demand) serta
mempertegas sistem pengawasan legalnya.
Pada tahun 1985, ASEAN turut mensponsori resolusi PBB no 40/122 menegani perlunya untuk mengadakan suatu Konferensi Dunia pada tingkat menteri mengenai penyalahgunaan narkoba dan peredaran ilegalnya.International Conference on Drug Abuse and Illicit Trafficking (ICDAIT) yang pada akhirnya berhasil di adakan di Wina, pada tahun 1987 dan mengeluarkan dua kesepakatan penting yaitu Deklarasi dan Comprehensive Multidiciplinary Outline of Future Activities in Drug Abuse Control atau CMO. Kesepakatan tersebut menekankan pentingnya pendekatan yang berimbang antara faktor pencegahan, perawatan dan rehabilitasi para pecandu obat-obatan terlarang. Baik dalam pembuatan kebijakannya maupun tindakannya, dengan upaya mengurangi persediaan pasokan narkoba dan perdagangan ilegalnya.
Adapun
resolusi yang diharmonisasikan ASOD dari hasil CMO tersebut adalah:
1. PBB melakukan konsultasi dengan
pemerintah negara-negara melalui agensi PBB serta NGO yang ada untuk merumuskan
strategi global dalam hal demand reduction, tujuan, prioritas dan pertanggung
jawaban, kemudian memberikan laporan ke CND (commission on narcotics drugs).
2.Pengembangan konsultasi dengan
mengikutsertakan NGO untuk merancang strategi demand reduction yang diteruskan
kepada ECOSOC (Economic Sosial Council) agar diadopsi majelis umum.
3.Penyusunan seperti rancangan deklarasi,
untuk memperhitungkan, mempertimbangkan rekomendasi yang relevan yang
terkandung dalam CMO dengan memperhatikan fleksibilitas dan efektifitas biaya.
4.Perhatian khusus terhadap evaluasi
pengembangan metode inovatif pengumpulan data dan anlisis, mengidentifikasi
mengenai sifat, lingkup, dan konsekuensi dari penyalahgunaan narkoba dan
melakukan revisi tahunan melalui laporan kuisioner.
5. Demand Reduction harus menjadi agenda
permanen dalam setiap pertemuan.
6. Mendorong pemerintah, organisasi
regional dan badan-badan multilateral lainnya untuk bekerja sama dalam
penggunaan biaya ECOSOC untuk mengurangi supply and demand dari peredaran
narkotika ini.
7. Mendorong pemerintah untuk mengadopsi
strategi nasional yang komprehensif yang mencerminkan realitas dan perlunya
keseimbangan antara upaya pengurangan persediaan dan permintaan, dengan
hubungan operasional antar daerah, dengan mempertimbangkan kondisi sosial,
ekonomi, dan budaya dari masing-masing negara.
8. Mendorong Direktur Eksekutif Program
agar terus memfalisitasi dan mempromosikan penyebarluasan informasi serta
berbagi manfaat dari pengalaman yang diperoleh dalam pengembangan dan
pelaksanaan strategi nasional yang seimbang.
9. Menyertakan International Narcotics
Control Board untuk terus melaporkan kemajuan dan hambatan ditingkat nasional,
dengan terus memberikan pemahaman yang lebih komprehensif terhadap drugs
trafficking.
10. Melakukan kerjasama antar pemerintah
dalam hal demand reduction ditingkat regional dan internasional melalui
pertemuan, pertukaran informasi, pengalaman dan expertise.
11. Menekankan perlunya keterlibatan tenaga
sukarela serta partisipasi masyarakat terkait penanggulangan drugs trafficking.
12.
UNCDP bertugas untuk merumuskan
pengertian istilah-istilah dan melakukan sosialisasi agar masyarakat memiliki
pemahaman yang sama.
13.
Mendorong sekjen PBB untuk meneruskan
resolusi ini kepada semua pemerintah negara untuk dipertimbangkan dan
diimplementasi.
ASOD
memiliki empat kelompok kerja, yaitu: pendidikan pencegahan, perawatan dan
rehabilitasi, penegakan hukum dan penelitian. Program-program ini dilengkapi
dengan dibentuknya empat pusat pelatihan terkait bidang prioritas dikawasan
antara lain:[6]
ASEAN
Training Centre for Narcotics Law Enforcement di Bangkok Bidang penegakan hukum
ini dicetuskan setelah pertemuan ASEAN Drug Experts ke-4 pada tahun 1979 yang
merekomendasikan bahwa negara-negara ASEAN membutuhkan pelatihan khusus untuk
meningkatkan pengamanan nasional dan memperkuat jaringan kerja regional akan
penegakan hukum dibidang narkoitka dan obat-obatan terlarang. Kegiatan utamanya
yang diambil ditingkat pusat adalah: mengatur semua pelatihan penegakan hukum
anti narkoba dan obat-obatan terlarang yang diikuti oleh semua negara anggota
dengan bantuan dari pemerintah AS dan mempersiapkan proyek pelatihan tiga tahun
untuk memenuhi kebutuhan ASEAN akan proyek jangka panjang dengan dukungan UNDP.
Pelatihan bagi pejabat menengah penegak hukum narkotika dan obat-obatan terlarang
dan lokakarya bagi pejabat senior penegak hukum narkotika dan obatobatan terlarang
telah diadakan tiap tahunnya, dengan memfokuskan pada satu masalah utama yaitu,
lokakarya dan pelatihan tentang investigasi keuangan dan penyitaan asset-aset,
pengumpulan data intelejen, analisa dan penyebaran informasi, serta pengantaran
yang diawasi juga telah dilaksanakan.
b) ASEAN
Training Centre for Preventive Drug Education di Manila Bidang ini dibentuk
dengan tujuan spesifik yaitu untuk melindungi anak-anak dan generasi muda dari
penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang melalui program pencegahan
penggunaan narkotika dan obat-obatan terlarang yang sama dan terus menerus.
c)
ASEAN Training Centre for Treatment and
Rehabilitation Training Centre for Treatment and Rehabilitation memiliki tugas
dalam hal pengembangan, pertukaran informasi tentang metode perawatan dan
rehabilitasi bagi para pecandu narkoba.
d)
ASEAN Training Centre for the Detection
of Drugs in Body fluids Singapura merupakan negara yang dipercaya ASOD untuk
memimpin working group ini serta menjadi pusat pelatihan dan penelitian
narkotika cair. Pusat laboratorium di Singapura tidak hanya menjadi acuan di
kawasan Asia Tenggara saja, tetapi juga menjadi rujukan bagi negara-negara
mitra wicara ASEAN. Hal ini dikarenakan
fasilitas yang dimiliki laboratorium narkotika di singapura sangat lengkap.
Prospek yang ditunjukan singapura dalam hal pengembangan laboratorium ternyata
mendorong ASEAN sendiri untuk meningkatkan proyek pengembangan klinik berbasis
kimia untuk mengobati pasien dalam jangka waktu yang lebih cepat. Tentunya ini
akan lebih efektif jika dibandingkan dengan metode perawatan dan rehabilitasi
yang bertahap. (www.asean.org)[7]
BAB III
PENUTUPAN
3.1
KESIMPULAN
Peran
ASEAN dalam menanggulangi masalah peredaran dan perdagangan narkotika ilegal di
Asia Tenggara adalah sebagai fasilitator dengan mendorong negara-negara di
kawasan Asia Tenggara untuk ikut aktif dalam menanggulangi kejahatan
transnasional perdagangan narkoba dan menjalin kerjasama baik dalam lingkup
ASEAN maupun dalam lingkup bilateral dan internasional.
ASEAN
telah membangun kerjasama dengan UNDCP, UNDP, dan Uni Eropa. Kerjasama tersebut
memberi beberap keuntungan seperti adanya pertukaran informasi dan keahlian
(expertise) dalam hal manajemen pengelolaan permasalahan perdagangan narkotika
ilegal. ASEAN Regional Policy and Strategy in The Prevention and Control of
Drug Abuse and Illicit Trafficking membawa suatu dimensi baru pada persepsi dan
pendekatan untuk memberantas masalah narkoba yaitu memandang masalah narkoba
tidak hanya sebagai masalah sosial dan kesehatan saja tetapi juga mempertimbangkan
dampaknya terhadap masalah keamanan, stabilitas, kesejahteraan dan ketahanan
nasional.
Dengan
adanya training centre di kawasan Asia Tenggara, maka kerjasama baik pertukaran
informasi, pelatihan, penelitian dan rehabilitasi terjalin dengan baik bahkan kerjasama
ini tidak hanya dalam lingkup ASEAN tetapi juga negara-negara non ASEAN.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
:
·
Ralf Emers, “The Threat of transnational
crime in Southeast Asia: drug trafficking, human smuggling and trafficking and
sea piracy”. UNISCI Discussion Papers, Nǖm. 2, mayo-sinmes, 2003, Universidad
Complutense de Madrid , España, hal 9.
·
ASEAN Selayang Pandang, edisi 2008.
Direktorat Jendral ASEAN Departemen Luar Negri Republik Indonesia 2008, hal 79.
·
Andri Prima. 2010. Peran ASOD (Asean
Senior Officials On Drugs Matters) Dalam Menanggulangi Drugs Trafficking di
Asia Tenggara. Program Sarjana Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan
Politik. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta.
·
Yamin, Matengkar. Intelijen Indonesia : Towards Professional
Intelligence. Gajahmada University Press 2006.
·
Anak Agung Banyu Perwita & Yanyan
Mochamad Yani. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Remaja Rosda Karya.
Bandung 2005
·
Zarina Othman, Myanmar, Illicit Drug
Trafficking and Security implication.
(Akademika 65, 2004) hal 33
·
Zarina Othman, Myanmar, Illicit Drug
Trafficking and Security implication.
(Akademika 65, 2004)
Internet :
·
http://haryo-prasodjo.blogspot.com
·
http://smulya.multiply.com/journal/item/46
·
http://66.102.9.132/search?q=cache:vYHFvHrq8_UJ:
·
www.banyumaskab.go.id/
·
http://smulya.multiply.com/journal/
item/46
·
http://ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id
[1]http://66.102.9.132/search?q=cache:vYHFvHrq8_UJ:www.banyumaskab.go.id/bmskita/data%2520umum/Deskripsi%2520Narkoba.ppt+narkoba&cd=18&hl=id&ct=clnk&gl=id
diakses pada 5 januari 2015
[2] Zarina
Othman, Myanmar, Illicit Drug Trafficking and Security implication. (Akademika 65, 2004) hal 33.
[3] The
Golden Triangle-Maesai Thailand. http://smulya.multiply.com/journal/ item/46
diakses pada 5 januari 2015
[4] Ralf
Emers, “The Threat of transnational crime in Southeast Asia: drug trafficking,
human smuggling and trafficking and sea piracy”. UNISCI Discussion Papers, Nǖm.
2, mayo-sinmes, 2003, Universidad Complutense de Madrid , España, hal 9.
[5] ASEAN
Selayang Pandang, edisi 2008. Direktorat Jendral ASEAN Departemen Luar Negri
Republik Indonesia 2008, hal 79.
[6] Andri
Prima. 2010. Peran ASOD (Asean Senior Officials On Drugs Matters) Dalam
Menanggulangi Drugs Trafficking di Asia Tenggara. Program Sarjana Hubungan
Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Jakarta.
[7] http://ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id/site/wp-content/uploads/2013/09/ejournal%20file%20(09-04-13-03-31-17).pdf
di akses pada 10 januari 2015