Kamis, 23 April 2015
Upacara Adat Suku Asmat Ritual/ Upacara suku Asmat
- Ritual Kematian Orang Asmat tidak mengenal dalam hal mengubur mayat orang yang telah meninggal. Bagi mereka, kematian bukan hal yang alamiah. Bila seseorang tidak mati dibunuh, maka mereka percaya bahwa orang tersebut mati karena suatu sihir hitam yang kena padanya. Bayi yang baru lahir yang kemudian mati pun dianggap hal yang biasa dan mereka tidak terlalu sedih karena mereka percaya bahwa roh bayi itu ingin segera ke alam roh-roh. Sebaliknya kematian orang dewasa mendatangkan duka cita yang amat mendalam bagi masyarakat Asmat. Suku Asmat percaya bahwa kematian yang datang kecuali pada usia yang terlalu tua atau terlalu muda, adalah disebabkan oleh tindakan jahat, baik dari kekuatan magis atau tindakan kekerasan. Kepercayaan mereka mengharuskan pembalasan dendam untuk korban yang sudah meninggal. Roh leluhur, kepada siapa mereka membaktikan diri, direpresentasikan dalam ukiran kayu spektakuler di kano, tameng atau tiang kayu yang berukir figur manusia. Sampai pada akhir abad 20an, para pemuda Asmat memenuhi kewajiban dan pengabdian mereka terhadap sesama anggota, kepada leluhur dan sekaligus membuktikan kejantanan dengan membawa kepala musuh mereka, sementara bagian badannya di tawarkan untuk dimakan anggota keluarga yang lain di desa tersebut. Apabila ada orang tua yang sakit, maka keluarga terdekat berkumpul mendekati si sakit sambil menangis sebab mereka percaya ajal akan menjemputnya.
- Tidak ada usaha-usaha untuk mengobati atau memberi makan kepada si sakit. Keluarga terdekat si sakit tidak berani mendekatinya karena mereka percaya si sakit akan ´membawa´ salah seorang dari yang dicintainya untuk menemani. Di sisi rumah dimana si sakit dibaringkan, dibuatkan semacam pagar dari dahan pohon nipah. Ketika diketahui bahwa si sakit meninggal maka ratapan dan tangisan menjadi-jadi. Keluarga yang ditinggalkan segera berebut memeluk sis akit dan keluar rumah mengguling-gulingkan tubuhnya di lumpur. Sementara itu, orang-orang di sekitar rumah kematian telah menutup semua lubang dan jalan masuk (kecuali jalan masuk utama) dengan maksud menghalang-halangi masuknya roh-roh jahat yang berkeliaran pada saat menjelang kematian. Orang-orang Asmat menunjukkan kesedihan dengan cara menangis setiap hari sampai berbulan-bulan, melumuri tubuhnya dengan lumpur dan mencukur habis rambutnya. Yang sudah menikah berjanji tidak akan menikah lagi (meski nantinya juga akan menikah lagi) dan menutupi kepala dan wajahnya dengan topi agar tidak menarik bagi orang lain. Mayat orang yang telah meninggal biasa diletakkan di atas para (anyaman bambu), yang telah disediakan di luar kampung dan dibiarkan sampai busuk. Kelak, tulang belulangnya dikumpulkan dan disipan di atas pokok-pokok kayu. Tengkorak kepala diambil dan dipergunakan sebagai bantal petanda cinta kasih pada yang meninggal. Orang Asmat percaya bahwa roh-roh orang yang telah meninggal tersebut (bi) masih tetap berada di dalam kampung, terutama kalau orang itu diwujudkan dalam bentuk patung mbis, yaitu patung kayu yangtingginya 5-8 meter.
Cara lain yaitu dengan meletakkan jenazah di perahu lesung
panjang dengan perbekalan seperti sagu dan ulat sagu untuk kemudian dilepas di
sungai dan seterusnya terbawa arus ke laut menuju peristirahatan terakhir
roh-roh. Saat ini, dengan masuknya pengaruh dari luar, orang Asmat telah
mengubur jenazah dan beberapa barang milik pribadi yang meninggal. Umumnya,
jenazah laki-laki dikubur tanpa menggunakan pakaian, sedangkan jenazah wanita
dikubur dengan menggunakan pakaian. Orang Asmat juga tidak memiliki pemakaman
umum, maka jenazah biasanya dikubur di hutan, di pinngir sungai atau
semak-semak tanpa nisan. Dimana pun jenazah itu dikubur, keluarga tetap dapat
menemukan kuburannya.
- Ritual Pembuatan dan Pengukuhan Perahu Lesung
Setiap 5 tahun sekali, masyarakat Asmat membuat perahu-perahu baru.Dalam proses
pembuatan prahu hingga selesai, ada berapa hal yang perlu diperhatikan. Setelah
pohon dipilih, ditebang, dikupas kulitnya dan diruncingkan kedua ujungnya,
batang itu telah siap untuk diangkut ke pembuatan perahu. Sementara itu, tempat
pegangan untuk menahan tali penarik dan tali kendali sudah dipersiapkan.
Pantangan yang harus diperhatikan saat mengerjakan itu semua adalah tidak boleh
membuat banyak bunyi-bunyian di sekitar tempa itu. Masyarakat Asmat percaya
bahwa jika batang kayu itu diinjak sebelum ditarik ke air, maka batang itu akan
bertambah berat sehingga tidak dapat dipindahkan. Untuk menarik batang kayu, si
pemilik perahu meminta bantuan kepada kerabatnya. Sebagian kecil akan mengemudi
kayu di belakang dan selebihnya menarik kayu itu. Sebelumnya diadakan suatu
upacara khusus yang dipimpin oleh seorang tua yang berpengaruh dalam masyarakat.
Maksudnya adalah agar perahu itu nantinya akan berjalan seimbang dan
lancar.Perahu pun dicat dengan warna putih di bagian dalam dan di bagian luar
berwarna merah berseling putih. Perahu juga diberi ukiran yang berbentuk
keluarga yang telah meninggal atau berbentuk burung dan binatang
lainnya.Setelah dicat, perahu dihias dengan daun sagu. Sebelum dipergunakan,
semua perahu diresmikan terlebih dahulu. Para pemilik perahu baru bersama
dengan perahu masing-masing berkumpul di rumah orang yang paling berpengaruh di
kampung tempat diadakannya pesta sambil mendengarkan nyanyi -nyanyian dan
penabuhan tifa. Kemudian kembali ke rumah masing-masing untuk mempersiapkan
diri dalam perlombaan perahu. Para pendayung menghias diri dengan cat berwarna
putih dan merah disertai bulu-bulu burung. Kaum anak-anak dan wanita
bersorak-sorai memberikan semangat dan memeriahkan suasana. Namun, ada juga
yang menangis mengenang saudaranya yang telah meninggal. Dulu, pembuatan perahu
dilaksanakan dalam rangka persiapan suatu penyerangan dan pengayauan kepala.
Bila telah selesai, perahu -perahu ini dicoba menuju tempat musuh dengan maksud
memanas -manasi mereka dan memancing suasana musuh agar siap berperang.
Sekarang, penggunaan perahu lebih terarahkan untuk pengangkutan bahan makanan.
- Upacara Bis Upacara bis merupakan salah satu
kejadian penting di dalam kehidupan suku Asmat sebab berhubungan dengan
pengukiran patung leluhur (bis) apabila ada permintaan dalam suatu keluarga.
Dulu, upacara bis ini diadakan untuk memperingati anggota keluarga yang telah
mati terbunuh, dan kematian itu harus segera dibalas dengan membunuh anggota
keluarga dari pihak yang membunuh. Untuk membuat patung leleuhur atau saudara
yang telah meninggal diperlukan kurang lebih 6-8 minggu. Pengukiran patung dikerjakan
di dalam rumah panjang (bujang) dan selama pembuatan patung berlangsung, kaum
wanita tidak diperbolehkan memasuki rumah tersebut. Dalam masa-masa pembuatan
patung bis, biasanya terjadi tukar-menukar istri yang disebut dengan papis.
Tindakan ini bermaksud untuk mempererat hubungan persahabatan yang sangat
diperlukan pada saat tertentu, seperti peperangan. Pemilihan pasangan terjadi
pada waktu upacara perang-perangan antara wanita dan pria yang diadakan tiap
sore. Upacara perang-perangan ini bermaksud untuk mengusir roh-roh jahat dan
pada waktu ini, wanita berkesempatan untuk memukul pria yang dibencinya atau
pernah menyakiti hatinya. Sekarang ini, karena peperangan antar clan sudah
tidak ada lagi, maka upacara bis ini baru dilakukan bila terjadi mala petaka di
kampung atau apabila hasil pengumpulan bahan makanan tidak mencukupi. Menurut
kepercayaan, hal ini disebabkan roh-roh keluarga yang telah meninggal yang
belum diantar ketempat perisitirahatan terakhir, yaitu sebuah pulau di muara
sungai Sirets. Patung bis menggambarkna rupa dari anggota keluarga yang telah
meninggal. Yang satu berdiri di atas bahu yang lain bersusun dan paling utama
berada di puncak bis. Setelah itu diberikan warna dan diberikan
hiasan-hiasan.Usai didandani, patung bis ini diletakkan di atas suatu panggung
yang dibangun dirumah panjang. Pada saat itu, keluarga yang ditinggalkan akan
mengatakan bahwa pembalasan dendam telah dilaksanakan dan mereka mengharapkan
agar roh-roh yang telah meninggal itu berangkat ke pulau Sirets dengan tenang.
Mereka juga memohon agar keluarga yang ditinggalkan tidak diganggu dan
diberikan kesuburan. Biasanya, patung bis ini kemudian ditaruh dan ditegakkan
di daerah sagu hingga rusak. - Upacara pengukuhan dan pembuatan rumah bujang
(yentpokmbu) Orang-orang Asmat mempunyai 2 tipe rumah, yaitu rumah keluarga dan
rumah bujang.
Rumah bujang inilah yang amat penting bagi orang-orang Asmat. Rumah bujang ini dinamakan sesuai nama marga (keluarga) pemiliknya.Rumah bujang merupakan pusat kegiatan baik yang bersifat religius maupun yang bersifat nonreligius. Suatu keluarga dapat tinggal di sana, namun apabila ada suatu penyerangan yang akan direncanakan atau upacara-upacara tertentu, wanita dan anak-anak dilarang masuk. Orang-orang Asmat melakukan upacara khusus untuk rumah bujang yang baru, yang dihadiri oleh keluarga dan kerabat. Pembuatan rumah bujang juga diikuti oleh beberapa orang dan upacara dilakukan dengan tari-tarian dan penabuhan tifa.
sumber : - http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Asmat
- http;//www.scribd.com/Suku_Asmat/5-11-2011
- http;//www.ksupointer.com/Suku_Asmat_Sosok_Budaya_Indonesia_diPapua/5-11-2011
- http;//www.lestariweb.com/Indonesia/Papua_People_Asmat/5-11-2011
Wanita Dalam Pandangan Suku Asmat
Simbolisasi perempuan dengan Flora & Fauna yang berharga
bagi masyarakat Asmat (pohon/kayu,kuskus,anjing,burung kakatua dan nuri,serta
bakung),seperti kata Asmat diatas,menunjukkan bagaimana sesungguhnya masyarakat
Asmat menempatkan perempuan yang sangat berharga bagi mereka.Hal ini tersirat juga
dalam berbagai seni ukiran dan pahatan mereka.Namun dalam gegap gempitanya
serta kemasyuran pahatan dan ukiran Asmat.
Tersembunyi suatu realita derita para Ibu dan gadis Asmat
yang tak terdengar dari dunia luar. Derita perempuan Asmat menjadi pelakon tunggal
dalam menghidupi suku tersebut.Setiap harinya mereka harus menyediakan makanan
untuk suami dan anak-anaknya, mulai dari mencari ikan,udang,kepiting,dan tembelo
sampai kepada mencari pohon sagu yang tua,menebang pohon sagu,menokok,membawa
sagu dari hutan,memasak dan menyajikan.Setelah itu mencuci tempat makanan atau
tempat masak termaksud mengambil air dari telaga atau sungai yang jernih untuk
keperluan minum keluarga. Sementara itu kegiatan laki-laki Asmat sehari-harinya
adalah menikmati makanan yang disediakan istrinya,mengisap tembakau,dan
berjudi.
Kadang suami membuat rumah atau perahu,namun dengan batuan
istri.Ada pula suami yang mau menemani istrinya mencari kayu bakar.Sayangnya
mereka hanya benar-benar menemani.Mendayung perahu,menebang kayu,dan membawanya
pulang adalah tugas istri.Suami yang cukup berbaik hati akan membantu
membawakan kapak istrinya. Jika istri tidak menyiapkan permintaan suaminya
seperti sagu atau ikan,maka istri akan menjadi korban luapan kemarahan.Jika
mereka kalah judi,maka istri pula yang akan dijadikan obyek kekesalan.Mereka
yang tinggal di Agats,kini terbiasa pula untuk mabuk,mereka lebih rentan untuk
mengamuk,sehingga istripun yang akan lebih banyak menerima tindak kekerasan.
Kadangkala laki-laki Asmat mengukir,jika mereka ingin tau atau jika hendak
menyelenggarakan pesta.Ketika laki-laki mengukir,maka tugas perempuan akan
semakin bertambah.Perempuan harus terus menyediakan sagu bakar dan makanan lain
yang diinginkan suami mereka agar dapat terus bertenaga untuk mengukir.Semakin
lama laki-laki mengukir,semakin banyak pula makanan yang harus mereka
sediakan.Hal itu berarti akan semakin lelah perempuan Asmat,karena harus
memangur,meramah,dan mengolah sagu,dan bahkan menjaring ikan,lebih tragisnya
lagi,jika ukiran itu dijual,maka uangnya hanya untuk suami yang
membuatnya,perempuan Asmat tidak menerima imbalan apapun untuk jerih payahnya
menyediakan makanan. Padahal tanpa makanan itu,satu ukiranpun tidak akan
selesai dibuat.
Sumber :
Dewi Linggasari,2004,Yang Perkasa Yang Tertindas. Potret Hidup Perempuan Asmat.Yogyakarta : Bigraf Publishing,bekerjasama dengan Yayasan Adhikarya IKAPI dan The Fourt Foundation. Sudarman, Dea (1993) Menyingkap Budaya Suku Pedalaman Irian Jaya. Jakarta: Delata
Sumber :
Dewi Linggasari,2004,Yang Perkasa Yang Tertindas. Potret Hidup Perempuan Asmat.Yogyakarta : Bigraf Publishing,bekerjasama dengan Yayasan Adhikarya IKAPI dan The Fourt Foundation. Sudarman, Dea (1993) Menyingkap Budaya Suku Pedalaman Irian Jaya. Jakarta: Delata
Kepercayaan Adat istiadat Suku Asmat Papua
Dalam hal kepercayaan orang Asmat yakin bahwa mereka adalah
keturunan dewa yang turun dari dunia gaib yang berada di seberang laut di
belakang ufuk, tempat matahari terbenam tiap hari. Menururt keyakinan orang
Asmat, dewa nenek-moyang itu dulu mendarat di bumi di suatu tempat yang jauh di
pegunungan. Dalam perjalanannya turun ke hilir sampai ia tiba di tempat yang
kini didiami oleh orang Asmat hilir, ia mengalami banyak petualangan. Dalam
mitologi orang Asmat yang berdiam di Teluk Flaminggo misalnya, dewa itu namanya
Fumeripitsy.
Ketika ia berjalan dari hulu sungau ke arah laut, ia
diserang oleh seekor buaya raksasa. Perahu lesung yang ditumpanginya tenggelam.
Dalam perkelahian sengit yang terjadi, ia dapat membunuh si buaya, tetapi ia
sendiri luka parah. Ia terbawa arus yang mendamparkannya di tepi sungai
Asewetsy, desa Syuru sekarang. Untung ada seekor burung Flamingo yang
merawatnya sampai ia sembuh kembali; kemudian ia membangun rumah yew dan
mengukir dua patug yang sangat indah serta membuat sebuah genderang em, yang
sangat kuat bunyinya. Setelah ia selesai, ia mulai menari terus-menerus tanpa
henti, dan kekuatan sakti yang keluar dari gerakannya itu memberi hidup pada
kedua patung yang diukirnya. Tak lama kemudian mulailah patung-patung itu
bergerak dan menari, dan mereka kemudian menjadi pasangan manusia yang pertama,
yaitu nenek-moyang orang Asmat.
Suku Asmat mengakui dirinya sebagai anak dewa yang berasal
dari dunia mistik atau gaib yang lokasinya berada di mana mentari tenggelam
setiap sore hari. Mereka yakin bila nenek moyangnya pada jaman dulu melakukan
pendaratan di bumi di daerah pegunungan. Selain itu orang suku Asmat juga
percaya bila di wilayahnya terdapat tiga macam roh yang masing-masing mempunyai
sifat baik, jahat dan yang jahat namun mati. Berdasarkan mitologi masyarakat
Asmat berdiam di Teluk Flamingo, dewa itu bernama Fumuripitis. Orang Asmat
yakin bahwa di lingkungan tempat tinggal manusia juga diam berbagai macam roh
yang mereka bagi dalam 3 golongan yaitu :
1. Yi – ow atau roh nenek moyang yang bersifat baik terutama bagi keturunannya.
2. Osbopan atau roh jahat dianggap penghuni beberapa jenis
tertentu.
3. Dambin – Ow atau roh jahat yang mati konyol./ Kehidupan
orang Asmat banyak diisi oleh upacara-upacara. Upacara besar menyangkut seluruh
komuniti desa yang selalu berkaitan dengan penghormatan roh nenek moyang
seperti berikut ini :
1. Mbismbu (pembuat tiang)
2. Yentpokmbu (pembuatan dan pengukuhan rumah yew)
3. Tsyimbu (pembuatan dan pengukuhan perahu lesung)
4. Yamasy pokumbu (upacara perisai)
5. Mbipokumbu (Upacara Topeng) Suku ini percaya bahwa
sebelum memasuki surga, arwah orang yang sudah meninggal akan mengganggu
manusia. Gangguan bisa berupa penyakit, bencana, bahkan peperangan. Maka, demi
menyelamatkan manusia serta menebus arwah, mereka yang masih hidup membuat
patung dan menggelar pesta seperti pesta patung bis (Bioskokombi), pesta
topeng, pesta perahu, dan pesta ulat-ulat sagu.
Suku Asmat Mempercayai Roh-roh dan Kekuatan Magis Roh
setan :Kehidupan orang-orang Asmat sangat terkait erat dengan alam sekitarnya.
Mereka memiliki kepercayaan bahawa alam ini didiami oleh roh-roh, jin-jin,
makhluk-makhluk halus, yang semuanya disebut dengan setan. Setan ini
digolongkan ke dalam 2 kategori :
1. Setan yang membahayakan hidup. Setan yang membahayakan
hidup ini dipercaya oleh orang Asmat sebagai setan yang dapat mengancam nyawa
dan jiwa seseorang. Seperti setan perempuan hamil yang telah meninggal atau
setan yang hidup di pohon beringin, roh yang membawa penyakit dan bencana
(Osbopan).
2. Setan yang tidak membahayakan hidup. Setan dalam kategori
ini dianggap oleh masyarakat Asmat sebagai setan yang tidak membahayakan nyawa
dan jiwa seseorang, hanya saja suka menakut-nakuti dan mengganggu saja. Selain
itu orang Asmat juga mengenal roh yang sifatnya baik terutama bagi
keturunannya., yaitu berasal dari roh nenek moyang yang disebut sebagai yi-ow.
Kekuatan magis dan Ilmu sihir Orang Asmat juga percaya
akan adanya kekuatan-kekuatan magis yang kebanyakan adalah dalam bentuk tabu.
Banyak hal -hal yang pantang dilakukan dalam menjalankan kegiatan sehari-hari,
seperti dalam hal pengumpulan bahan makanan seperti sagu, penangkapan ikan, dan
pemburuan binatang. / Kekuatan magis ini juga dapat digunakan untuk menemukan
barang yang hilang, barang curian atau pun menunjukkan si pencuri barang
tersebut. Ada juga yang mempergunakan kekuatan magis ini untuk menguasai alam
dan mendatangkan angin, halilintar, hujan, dan topan.
Rumah Adat Suku Asmat
Rumah adat suku Asmat nan dikenal dengan nama Jew, ialah rumah nan spesifik diperuntukkan bagi aplikasi segala kegiatan nan sifatnya tradisi. Misalnya buat kedap adat, melakukan pekerjaan membuat noken (tas tradisional Suku Asmat), mengukir kayu, dan juga loka tinggal para bujang. Oleh sebab itu, rumah Jew juga disebut sebagai rumah Bujang.
Rumah ini unik sebab dibangun sangat panjang, bahkan hingga mencapai 50 meter. Karena masyarakat Asmat antik belum mengenal paku, maka pembuatan rumah Jew sampai saat ini tak menggunakan paku.
Ada satu lagi rumah adat suku Asmat yaitu, Tysem. Rumah ini dapat juga disebut sebagai rumah keluarga, sebab nan menghuni ialah mereka nan telah berkeluarga. Biasanya, ada 2 sampai 3 pasang keluarga nan mendiami Tysem.Ukurannya lebih kecil dari pada rumah Jew.
Letak rumah Tysem biasanya di sekeliling rumah Jew. Sebuah rumah Jew bisa dikelilingi oleh sekitar 15 sampai 20 rumah Tysem. Bahan membangun rumah Tysem hampir sama dengan bahan pembuat rumah Jew. Semua dari bahan alami nan terdapat di hutan sekitar lokasi suku Asmat berada.
SUKU ASMAT
Suku Asmat Suku Asmat adalah nama dari sebuah suku terbesar dan paling terkenal di antara sekian banyak suku yang ada di Papua, Irian Jaya, Indonesia. Salah satu hal yang membuat suku asmat cukup dikenal adalah hasil ukiran kayu tradisional yang sangat khas. Beberapa ornamen / motif yang seringkali digunakan dan menjadi tema utama dalam proses pemahatan patung yang dilakukan oleh penduduk suku asmat adalah mengambil tema nenek moyang dari suku mereka, yang biasa disebut mbis. Namun tak berhenti sampai disitu, seringkali juga ditemui ornamen / motif lain yang menyerupai perahu atau wuramon, yang mereka percayai sebagai simbol perahu arwah yang membawa nenek moyang mereka di alam kematian. Bagi penduduk asli suku asmat, seni ukir kayu lebih merupakan sebuah perwujudan dari cara mereka dalam melakukan ritual untuk mengenang arwah para leluhurnya.
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Asmat.
Photoshop About Suku Asmat
Nama : Christin Sicilia Blandina Ansanay
NIM : 1370750030
Tugas/ UTS : Multimedia
Tanggal : 24 April 2015
NIM : 1370750030
Tugas/ UTS : Multimedia
Tanggal : 24 April 2015
Langganan:
Postingan (Atom)