Potret Hak Asasi Manusia di Papua
Konflik antara rakyat Papua dengan Indonesia dimulai sebelum dan sesudah PEPERA 1969 ketika rakyat Papua mulai sadar benar dan mengetahui pembatasan Hak Asasi Manusia rakyat Papua untuk menentukan nasib sendiri. Pelanggaran hak asasi manusia dapat terjadi dalam intraksi antara aparat pemerintah dengan masyarakat dan antar warga masyarkat. Apabila dilihat dari perkembangan sejarah bangsa Papua – di Indonesia, ada beberapa peristiwa besar pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dan mendapat perhatian yang tinggi dari NGO dan masyarakat Papua.
Akar persoalan derasnya tuntutan Rakyat Papua mengenai Hak Asasinya untuk menentukan nasib sendiri.
1. Pengabaian masyarakat internasional dalam pelaksanaan “Act of Free Choice” yang tidak demokratis, tidak adil dan penuh pelanggaran Hak Asasi Manusia.
2. Berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi secara sistematis (pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan) dan implikasi sosial lainnya (perampasan tanah-tanah adat, perusakan lingkungan, degradasi budaya) sebagai hasil dari militerisme dan kebijakan-kebijakan pembangunan (transmigrasi, pertambangan, HPH, turisme selama berintegrasi dengan Indonesia).
3. Krisis identitas sebagai ras Melanesia di negeri sendiri akibat kebijakan-kebijakan pemerintah yang mengandung elemen-elemen genosida, rasisme dan pengabaian terhadap kultur sehingga tingkat pertumbuhan penduduk pribumi Papua sangat lambat. Indonesia juga memberlakukan Papua sebagai Daerah Operasi Militer (DOM).
Selama menjadi DOM inilah berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia terjadi dan berujung pada kejahatan kemanusiaan. Kondisi ini membuat rakyat Papua terus hidup dalam ketakutan. Beberapa kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang masih tetap ada dalam ingatan penderitaan (memoria passionis) diantaranya :
Peristiwa Manokwari (28 Juli 1965), perlawanan Ferry Awom dan Mandacan di Manokwari yang menelan banyak korban di pihak rakyat sipil. Reaksi atas perlawanan yang dilakukan oleh gerilyawan Tentara Nasional Indonesia melancarkan operasi militer dengan nama operasi sadar dilakukan di dua daerah yakni Manokwari dan Sorong, operasi tersebut menewaskan ratusan rakyat sipil dan dilakukan penangkapan masal kemudian dibebaskan setelah PEPERA pada tahun 1970. Perlakuan kebiadaban lain, yakni anak perempuan umur 14 tahun ditangkap jadikan budak seks. Kasus lain yakni Kamis, 3 Maret 1968, Kampung Wodu dibakar. Semua rumah masyarakat dan harta benda, gedung gereja, dan gedung sekolah semua dibakar. Hewan peliharaan ditembak dan dimusnahkan (ELSAM Papua, 2012).
Lokasi lain, di Paniai Raya saat itu yakni (Kab.Paniai, Kab. Dogiyai dan Kab. Deiyai) 1 Mei 1963, rakyat mengahancurkan lapangan pesawat terbang di Enarotali dan Waghete, pada operasi tersebut menewaskan banyak rakyat sipil. Perempuan dijadikan budak seks bagi tentara, harta kekayaan mereka pun dimusnahkannya.
Pada periode ini, pelanggaran Hak Asasi Manusia besar lainya, penyerahkan tanah adat tanpa sepengetahuan pemilik atau penjaga tanah adat. Seperti PT.Freeport Indonesia.
b) Kasus 1969 sampai 1998.
Pada periode setelah Pepera, operasi militer lebih difokuskan untuk menghancurkan sisa-sisa anggota OPM yang masih bergerilya di hutan-hutan. Orang Papua yang berada di perkotaan maupun di pedesaan diawasi secara ketat dan harus mendapat ijin dari tentara jika ingin berpergian. Korban yang pernah ditahan, dapat kembali ditahan tanpa alasan penahanan yang jelas.
Daerah Sentani–Jayapura tentara di Batalyon 751 yang ditempatkan di Puay, Jayapura pada 1972 menembak mati 10 penduduk setempat dan 10 warga lainnya dari Telaga Maya (Sentani, Jayapura). Tentara lainnya kemudian menutupi korban dengan daun dan kayu.
Operasi Tumpas dilakukan 1971-1989 terhadap OPM di Biak Barat dan Biak Utara. Para saksi melaporkan terjadinya penembakan dan pembunuhan, penyiksaan dan penganiayaan, perkosaan, dan penculikan. Banyak rakyat sipil korban pembunuhan dan pula Perempuan juga tidak lepas dari korban tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat militer.
Hasil penelitian Asian Human Rights Commission Human Rights and Peace for Papua (ICP) (2013) menyebutkan pada tahun 1977–1978 di Pegunungan Tengah Papua Barat mengalami penindasan yang luar biasa melalui operasi darat maupun udara. Operasi ini yakni pembunuhan massal (Genosida) yang diabaikan menewaskan 4 juta jiwa lebih mulai dari anak kecil sampai dewasa. Tidak terlepas dari perbudakan seks, membakar rumah, gereja dan menghabiskan ternak peliharaan milik rakyat sipil.
Pada tahun 1980, operasi tentara menargetkan Tuan Thadeus Yogi, pada saat banyak masyarakat di tembak, dipukul dan dipenajarakannya. Pada operasi tersebut rakyat ditahan sampai dibunuh dengan cara diikat dengan tali digantungkan kemudian besi yang sudah dipanaskan/dibakar di api sampai merah, lalu mereka masukan besi panas tersebut dari pantat hingga keluar dimulut. Pembunuhan sadis ini dialami oleh rakyat diberbagai daerah Papua, mereka diculik dan dianiaya sampai akhirnya tewas dengan sadis. Pembunuhan terhadap tokoh antropolog Papua, Arnold Clemens Ap pada 26 April 1984, dia dibunuh kemudian dibuang di lautan di Jayapura. Masi ada banyak kasus yang terjadi pada periode tahun ini.
Kaitainya dengan operasi militer, pada 1990- an pembunuhan, pembantaian dan korban terus berjatuhan. Pada tahun 1994 TNI angkatan Darat menangkap 4 orang warga Timika yang kemudian dinyatakan hilang.
Jadi, disimpulkan bahwa era 1960 an sampai 2000 Akibat penerapan operasi militer, selama kurun waktu di bawah rejim orde baru, setidaknya telah 100 ribu lebih penduduk asli Papua terbunuh. Sasaran pembunuhan tidak saja pada orang-orang yang dianggap sebagai tokoh OPM, tetapi juga terhadap masyarakat Papua yang dianggap sebagai basis kekuatan OPM. (ELSAM, 2006).
Peristiwa yang terjadi Papua sejak tahun 1999 saat ini telah banyak memakan korban, baik dari penduduk sipil yang tidak berdosa. Mulai dari Biak berdarah, Wasior berdarah, Wamena Berdarah, Abepura berdarah, pembunuhan tokoh presidium Papua Theis H. Eluway, Pembunuhan 2010, Tuan Kely Kwalik, Pembubaran Paksa KRP II di Jayapura menewaskan rakyat sipil Papua, Pembunuhan 2011, Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Mako Musa Tabuni, pembunuhan melalui serangan udara 2011 menewaskan tuan Salmon Yogi dan masih banyak aktivis – aktivis dan rakyat sipil di Papua.
Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia lain yang terus terjadi adalah dilarangnya kebebasan berekperesi di mimbar bebas. Seperti organ pergerakan (KNPB) yang selalu protes pelanggaran HAM pada tahun 1969 terkait PEPERA catat hukum internasional ini terus mengintimidasi sampai dipenjarakan. Lagi pula organ sosial yakni gerakan mahasiswa Papua bersatu (GEMPAR) ditangkap sampai dipenjarahkan dengan mengenakan pasal palsu menurut undang – undang yang berlakunya seperti (Longmarc).
Pada tanggal 26 November, 2013 rakyat sipil Papua di Jayapura dinyatakan hilang belum diketemukan oleh pihak keluarga. Dalam era Otonomi Khusus Papua, penyerahan tanah adat pun terus berlanjut tanpa sepengetahuan penjaga tanah adat, seperti panganisasi (MIFE) Merauke, Deforestrasi hutang – hutang dan Industrialisasi (Kelapa Sawit) di Papua.
· Militerisme, kekerasan dan impunitasi adalah karakteristik dasar dari potret buruk situasi hak asasi di papua.
· Konflik antar rakyat papua dan Negara Indonesia atas isu ‘hak menuntut nasib sendiri’ telah menjadi sumber utama terjadinya pelanggaran hak asasi manusia secara sistematis di papua. Di mata rakyat papua proses intergrasi Papua Barat (papua sekarang) melalui PEPERA 1969 dalah cacat hukum dan melanggar prosedur internasional dalam melaksanakan suatu referendum oleh karena itu rakyat papua sejak awal intergrasi tersebut.organisasi papua merdeka (OPM) berdiri 1967 dan mulai mengadakan perlawanan-perlawanan bersenjata dan diplomasi. OPM melancarkan penyerangan baik terhadap apparat militer,sipil dan warga sipil biasa. Semua dilakukan dengan maksud menarik perhatian internasional terhadap proses PEPERA yang di nilai tidak benar dan juga sebagai operasi-operasi terhadap militer yang di lancarkan apparat keamanan Indonesia ke wilaya-wilaya penduduk sipil dimana OPM berbasis. Dewasa ini perlawanan rakyat papua semakin terorganisir secara damai melalui Dewan Presidium Papua (PDP) Yang mengedepankan prinsip-prinsip perjuangan damai.
· Sementara aparat keamanan demi memperthankan kedaulatan Negara Republik Indonesia dengan dukungan masyarakat internasional telah menjalankan kebijakan militerisme dengan melakukan operasi-operasi militer ke wilaya penduduk sipil, terutama yang menjadi basis OPM. Sejak 1963- sekarang telah di perkirakan kurang lebih 600.000 rakyat papua yang telah di bantai.
· Namun Hak Asasi Manusia dipapua semakin di perburuk dengan adanya budaya Indonesia dengan dukungan keamanan yang telah terbukti terlibat sejumlah kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia berat tak pernah di sentuh hukum. Berbagai laporan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang teah di laporkan, baik oleh lembaga-lembaga gereja dan LSM di papua kepada KOMNAS HAM, seperti kasus bela dan alama serta mapnduma 1999 yang melibatkan pihak tentara bayaran dan SAS Inggris,bahkan mengimpikasihkan,palang merah Indonesia; kasus biak berdarah 1998; kasus abepura Desember 2000 dan telah di verifikasi dan di benarkan oleh lembaga pemerintah tersebut, namun sampai sekarang tak satupun kasus di proses secara hukum. Para pelaku pelanggaran HAM itu pun bebas tanpa tersentuh hukum.
· Papua di mata aparat keamanan Indonesia adalah killing ground, ladang pembantaian untuk menguji teori-teori militer,ajang promosi pangkat dan basis ekonomi.
· Meskipun situasi Hak Asasi Manusia di Papua semakin memburuk, masyarakat internasional terus membisu. Isu kedaulatan Negara,kepentingan ekonomi dan telah menjadi penghambat intervensi masyarakat internasional dalam persoalan HAM di papua.bahkan kepentingan-kepentingan tersebut telah ikut melanggengkan kejahatan di papua.
Upaya untuk Menginternasionalisasi Isu Papua
Upaya disintegrasi ini memang telah dilakukan secara sistematis, dengan cara menginternasionalisasi isu Papua. Asing, terutama Amerika Serikat, sangat jelas telah merancang upaya pemisahan Papua ini dari wilayah Indonesia. Hal ini antara lain dibuktikan dengan beberapa fakta berikut:
1. Kehadiran Sekretaris Kedubes Amerika dan utusan Australia, Inggris dan negara asing lainnya dalam Kongres Papua pada tanggal 29 Mei hingga 4 Juni 2000 yang lalu. Dalam Kongres tersebut, mereka menggugat penyatuan Papua dalam NKRI yang dilakukan pemerintah Belanda, Indonesia dan PBB pada masa Soekarno. Menurut Kongres tersebut, “bangsa” Papua telah berdaulat sebagai bangsa dan negara sejak 1 Desember 1961. Selanjutnya Kongres meminta dukungan internasional untuk memerdekakan Papua (Kompas, 5/6/2000).
2. Kasus penembakan yang terjadi di Mile 62-63 Jalan Timika–Tembagapura pada 31 Agustus 2002. Peristiwa tersebut merenggut 3 nyawa karyawan Freeport Indonesia, masing-masing 2 warga negara Amerika Serikat dan 1 WNI, serta melukai 11 orang, 1 di antaranya anak-anak. Kasus ini terus diangkat oleh Amerika Serikat ke dunia internasional. Bahkan FBI dan CIA berdatangan ke Papua untuk mengusut peristiwa tersebut. Sejak saat itu, persoalan Papua berhasil diangkat oleh AS menjadi perhatian negara-negara di dunia maupun masyarakat internasional sebagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia.
3. Kongres Amerika Serikat membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) 2001 yang memuat masalah Papua di Amerika pada bulan Juli 2005, yang akhirnya disetujui oleh Kongres Amerika Serikat. RUU tersebut menyebutkan adanya kewajiban Menteri Luar Negeri Amerika Serikat untuk melaporkan kepada Kongres tentang efektivitas otonomi khusus dan keabsahan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969.
4. Akhir 2005, Kongres Amerika Serikat mempermasalahkan proses bergabungnya Irian Barat (Papua) dengan Indonesia. Padahal sejarah mencatat, bahwa pendukung utama integrasi tersebut adalah Amerika sendiri, dimana persoalan Indonesia dianggap sebagai bagian dari masalah Amerika Serikat.
5. Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN), Syamsir Siregar (22/3/2006), menduga ada upaya LSM yang didanai asing hingga terjadi kerusuhan di Abepura. Wakil dari LSM saat berbicara bersama seorang anggota Komisi I DPR-RI dalam dialog di salah satu stasiun TV nasional (22/3/2006)—tidak secara tegas menolak hal itu. Ternyata, hingga saat ini pun, ada upaya sistematis untuk mengadu-domba antar umat beragama di Papua, antara kelompok Muslim dengan Muslim di satu sisi, dan Muslim dengan non-Muslim di sisi lain. Tulisan International Crisis Group (ICG), yang dirilis Juni 2008 lalu jelas mengisyaratkan hal ini.
6. Pemberian visa sementara bagi pencari suaka pada 42 aktivis pro-kemerdekaan Papua oleh Australia. Menteri Imigrasi Australia (23/3/2006) Amanda Vanston mengatakan, “Ini didasarkan pada bukti yang disampaikan oleh individu sendiri serta laporan dari pihak ketiga.” Siapa yang dimaksud pihak ketiga, itu tidak pernah dijelaskan. Namun, umumnya pihak ketiga itu adalah NGO atau LSM yang didanai oleh asing. Pemberian suaka ini juga merupakan hal penting, sebab terkait dengan upaya kemerdekaan Papua melalui proses internasionalisasi.
7. Anggota Kongres AS, Eny Faleomavaega, kembali melakukan kunjungan ke Indonesia pada 28/11/2007. Secara khusus Eny melakukan kunjungan ke sejumlah wilayah Papua seperti Biak dan Manokwari. Alasan yang disampaikan oleh Eny adalah melihat langsung kondisi Papua setelah enam tahun otonomi khusus (OTSUS). Jika kita menelaah rangkaian kunjungan dan aktivitasnya selama ini, kedatangan Eny Faleomavaega ke Papua sebenarnya semakin mengokohkan opininya, bahwa Papua memang layak untuk merdeka.
8. Pada 16 Juni 2008, ICG mengeluarkan laporan “Indonesia: Communal Tensions in Papua”. Di sana ditulis, “Konflik Muslim dengan Kristen di Papua dapat meningkat jika tidak dikelola dengan baik. Kaum Kristen merasa ‘diserang’ oleh kaum migrasi Muslim dari luar Papua. Mereka merasa Pemerintah mendukung aktivitas Islam untuk mengekpansi minoritas non-Muslim. Kaum Muslim pindahan itu memandang demokrasi dapat diarahkan menjadi tirani mayoritas sehingga posisi mereka di sana terancam”. Laporan ini lebih merupakan propaganda dan upaya adu domba.
Sementara itu, surat tertanggal 29 Juli 2008 dari 40 anggota Kongres Amerika Serikat yang mereka kirim kepada Presiden SBY, dalam alinea terakhirnya manyatakan, ”We urge you to take action to ensure the immediate and unconditional release of Mr. Karma and Mr. Pakage. Any security officials who mistreated Mr. Karma or who may have employed inappropriate force against peaceful demonstrators should be prosecuted. Such steps would be an important indicator that Indonesia, as a member of the UN Human Rights Council, takes its international obligations to fully respect universally recognized human rights.” (Kami mendesak Anda untuk membebaskan segera dan tanpa syarat Mr. Karma dan Mr. Pakage). Siapapun aparat keamanan yang memperlakukan Mr. Karma dengan buruk atau mungkin melakukan kekerasan terhadap para pendemo yang melakukan aksi damai, maka aparat tersebut harus dihukum. Tindakan semacam itu merupakan indikator penting, bahwa Indonesia sebagai anggota Dewan HAM PBB, telah melakukan kewajiban internasionalnya untuk benar-benar menghormati HAM yang telah diakui secara universal).
Surat tersebut ternyata dimuat dan dipuji-puji dalam situs resmi The East Timor and Indonesia ActionNetwork (ETAN). ETAN adalah LSM internasional asal Amerika Serikat yang berpengalaman menjadi salah satu arsitek lepasnya Timor - Timur dari Indonesia.
Internasionalisasi masalah Papua pada dasarnya memiliki substansi yang sama dengan proses yang terjadi di Timor - timur. Intinya mendorong PBB atau dunia internasional untuk meninjau kembali penggabungan Papua dengan Indonesia. Karena itulah, bisa dipahami adanya propaganda yang menyatakan Pepera 1969 sebagai sesuatu yang tidak sah. Jika hal itu diterima oleh PBB dan dunia internasional, maka konsekuensinya rakyat Papua harus diberi hak untuk menentukan nasib mereka sendiri dan itu artinya harus dilaksanakan referendum. Itulah yang sesungguhnya menjadi tujuan akhir dari upaya internasionalisasi masalah Papua. Ujung-ujungnya adalah supaya Papua lepas dari wilayah Indonesia. Dari apa yang terjadi di seluruh dunia, dimana terdapat kekayaan alam yang besar maka di situ dipastikan terjadi pertarungan internasional untuk memperebutkan kekayaan itu. Karena itu, dalam masalah Papua juga terjadi pertarungan kekuatan internasional.
Jika dilihat pada tingkat internasional, selama ini Amerika Serikat menggunakan kasus Papua sebagai alat penekan. Misalnya, Amerika Serikat menggunakan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di antaranya yang terjadi di Papua untuk sebagai alasan menjatuhkan embargo terhadap TNI. Adapun negara yang secara terbuka mendukung propaganda kemerdekaan Papua sebenarnya tidak banyak. Hanya beberapa negara kecil di Pasifik. Tercatat hanya negara Solomon, Nauru dan Vanuatu, tiga negara kecil di Pasifik yang terang-terangan mendukung kemerdekaan Papua. Bahkan berbagai gerakan separatis OPM secara legal telah membuka perwakilan di Vanuatu, memanfaatkan gerakan melanesian brotherhood.
Di sisi lain Australia memiliki sikap terbuka yang berubah-ubah mengikuti partai yang berkuasa. Dukungan dari pihak-pihak di Australia diberikan oleh beberapa senator, akademisi dan beberapa orang dari kalangan media. Dukungan pemerintah Australia terlihat menguat ketika Partai hijau berkuasa. Namun, secara terus-menerus Australia menjadi salah satu basis propaganda pro kemerdekaan Papua. Peran Australia ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Inggris mengingat secara tradisional para politisi dan kebijakan Australia banyak dipengaruh oleh Inggris. Di luar semua itu, Inggris sebenarnya tidak bisa dikatakan terlepas dari pertarungan dalam kasus Papua. Memang sikap Inggris yang formal adalah mengakui kedaulatan dan keutuhan NKRI termasuk di dalamnya Papua. Namun, sudah menjadi semacam rahasia umum bahwa meski sikap formalnya demikian, negara-negara Barat juga kerap menjalankan aktifitas rahasia melalui dinas intelijennya.
Dalam kasus mencuatnya video penyiksaan di Papua pada tahun lalu, misalnya, kampanye Free West Papua yang merilis video penyiksaan TNI terhadap anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM), ternyata mendapat dukungan dari politisi Inggris, terutama yang ada di Parlemen. Badan Intelijen Inggris, Secret Intelligence Service (SIS) atau M16, diduga berada di balik sikap dukungan parlemen Inggris terhadap kemerdekaan Papua itu. Begitu pula dukungan Inggris itu tampak dari “ditampungnya” tokoh kemerdekaan Papua, Benny Wenda. Benny Wenda yang tinggal di Inggris mendirikan Parlemen Internasional untuk Papua Barat (IPWP) pada Oktober 2008. Ia mendapat dukungan dari sejumlah politisi, terutama yang berada di Inggris. Dia pula yang terlibat aktif atau sebagai penggerak International Lawyer for West Papua (ILWP) yang pada 2 Agustus lalu menyelenggarakan konferensi propaganda kemerdekaan Papua, bertempat di East School of the Examination Schools, 75-81 High Street, Oxford dengan mengusung tema tentang kemerdekaan Papua: “West Papua ? The Road to Freedom”.
Terkait hal itu, kita harus waspada. Dalam semua pertarungan internasional, yang paling diuntungkan selalu saja adalah pemain besar, dalam hal ini Inggris dan Amerika Serikat. Sementara kawasan yang diperebutkan dan penduduknya terus saja menjadi korbannya.