Rabu, 13 Mei 2015

PERAN ASEAN DALAM MENANGGULANGI PENYALAHGUNAAN DAN PERDAGANGAN NARKOTIKA DI ASIA TENGGARA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah

Arus globalisasi dan dampak dari krisis dunia telah menyebabkan peningkatan aksi-aksi kejahatan yang melintas batas suatu negara (transnational crime). Kawasan Asia Tenggara telah menjadi salah satu kawasan yang berpotensi dijadikan kawasan jaringan kejahatan internasional. Dibukanya pasar bebas Asia Tenggara (AFTA) tahun 2003 merupakan salah satu celah yang telah di manfaatkan oleh pelaku kejahatan transnasional untuk mengembangkan pengaruhnya. Selain itu, negara-negara dikawasan Asia Tenggara cenderung memiliki institusi dan lembaga pemerintahan yang lemah serta korup. Hal ini menjadi faktor pendorong peningkatan kejahatan transnasional. Salah satu dari kejahatan internasional adalah perdagangan narkotika ilegal.
Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang tingkat kejahatan transnasionalnya relatif tinggi khususnya perdagangan narkotika. Hal ini disebabkan karena kejahatan transnasional marak terjadi di kawasan dimana negara negaranya diatur oleh pemerintahan yang korup dan lembaga pemerintahan yang lemah. Faktor tersebut merupakan latar belakang tingginya tingkat kejahatan transnasional khususnya peredaran narkotika di Asia Tenggara.
Menurut WHO (1982) narkoba (narkotika dan obat atau bahan berbahaya) adalah semua zat padat, cair maupun gas yang dimasukkan kedalam tubuh dapat merubah fungsi dan struktur tubuh secara fisik maupun psikis termasuk makanan, air dan oksigen dimana dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi tubuh normal [1]. Contohnya seperti opioda (morfin, heroin), kokain, ganja, dan alkohol yang mana memiliki efek dapat merubah fungsi berpikir, perasaan dan perilaku orang yang memakainya namun sayang seringkali zat yang seharusnya berfungsi sebagai obat malah disalahgunakan dengan cara dipakai dalam dosis yang kecil maupun besar untuk dinikmati efeknya, penyalahgunaan ini dapat menyebabkan ketergantungan.
Kejahatan perdagangan narkotika memiliki ciri-ciri: terorganisir (organized crime), berupa sindikat, terdapat suatu dukungan dana yang besar serta peredarannya memanfaatkan teknologi canggih. Modus peredaran gelap narkotika internasional selalu melibatkan warga negara asing dan berdampak terhadap teritorial dua negara atau lebih serta selalu didahului persiapan atau perencanaan yang dilakukan diluar batas teritorial negara tertentu. Semakin canggih teknologi telah dimanfaatkan oleh pelaku perdagangan narkotika ilegal untuk menyelundupkan narkotika illegal dari suatu negara ke negara lain seperti penggunaan kapal selam dan pesawat terbang. Adapun modus lain dari pengedar narkotika adalah menggunakan wanita sebagai kurir. Penggunaan wanita sebagai kurir narkotika dianggap sebagai cara aman dan tidak dicurigai oleh pihak keamanan suatu negara. Berkaitan dengan perdagangan narkotika ilegal ada tiga elemen penting didalamnya yaitu daerah yang menjadi pemasok, orang atau organisasi yang mendistribusikan narkotika serta pengguna atau pemakai narkotika.
Dengan jumlah penduduk Asia Tenggara yang hampir 500 juta jiwa, menjadikan wilayah ini bukan saja sebagai produksi terbesar obat-obatan berbahaya, namun juga sebagai pasar yang cukup potensial bagi para produsen dan pengedar narkotika. Perdagangan narkotika ilegal tidak terlepas dari Asia Tenggara merupakan salah satu penghasil obat-obatan terlarang terbesar didunia setelah “Bulan Sabit Emas” (Afganistan, India, Pakistan) dan Colombia. Sebutan “Segitiga Emas” atau The Golden Triangle yang merupakan daerah perbatasan Thailand, Myanmar dan Laos merupakan penghasil 60 persen produksi Opium dan Heroin di dunia (www.deplu.go.id). Jaringan Golden Triangle yang beroperasi di Myanmar, Burma, Thailand, Amerika Selatan dengan pusatnya Bangkok, Thailand, memiliki keterlibatan dengan kelompok jaringan internasional Golden Crescent yang beroperasi di Iran, Pakistan dan Afghanistan dengan pusatnya di Pakistan (www.tempo.co.id). Perdagangan narkotika tidak lepas dari peranan kelompok sindikat perdagangan narkotika internasional yang berperan sebagai drug dealer dalam menyelundupkan narkotika ke kawasan Asia Tenggara.
Munculnya berbagai masalah dan hambatan yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan dan perdagangan narkotika ilegal ini membuat keberadaan suatu organisasi yang dapat menanggulangi masalah tersebut dirasakan sangat perlu.
Kerjasama antar negara dalam pemberantasan peredaran gelap narkotika harus dikembangkan karena tidak mungkin suatu negara dapat memberantas peredaran gelap narkotika berdimensi internasional.
Dalam hal ini penulis mengangkat pembahasan mengenai perjalanan perdagangan narkotika Asia Tenggara. Dinilai cukup tinggi hal ini dibuktikan dengan adanya Golden Triangle atau segitiga emas negara pusat produksi, penyelundupan dan perdagangan narkotika terbesar di Asia Tenggara. Golden Triangle beranggotakan Thailand, Myanmar dan Laos dimana Myanmar sebagai salah satu opium terbesar di dunia sementara Laos sebagai negara penghasil opium terbesar kedua dan Thailand mendominasi produksi narkotika jenis ekstasi, sabu sabu dan narkotika cair lainnya di Asia Tenggara. Fakta inilah yang menjadi faktor utama mengapa Thailand pernah menjadi negara dengan tingkat pengguna narkotika tertinggi di dunia, sementara Phnom Penh Kamboja merupakan pusat money laundering (pencucian uang) dari hasil keuntungan penjualan narkotika dan kejahatan transnasional lainnya seperti penyelundupan senjata ilegal, perdagangan manusia, cyber crime, dan lain sebagainya[2].
            Myanmar merupakan poin penting dalam Golden Triangle karena Myanmar bertugas sebagai distributor opium ke seluruh dunia, Myanmar bukan lagi sebagai negara transit dari narkotika namun sebagai negara pembuat narkotika nomor satu. Selama ratusan tahun, provinsi Shan dari Myanmar yang sebelah timurnya berbatasan dengan Cina, sebelah baratnya berbatasan dengan Thailand dimana kota Maesai berada menjadi tempat ladang opium yang paling utama karena selain tanah dan iklimnya cocok, lokasinya juga strategis karena terisolir.[3] Berbeda dengan Kolombia atau kawasan Amerika Latin lainnya yang lebih didominasi oleh peredaran dan perdagangan kokain, Asia Tenggara merupakan kawasan pusat produksi heroin, opium dan sejenisnya yang merupakan olahan dari tanaman opium poppy. Di kawasan The Golden Triangle, heroine di distribusikan ke Thailand melalui rute khusus perdagangan gelap narkoba. Narkotika lainnya masuk ke provinsi Yunnan-Cina dan tujuan akhirnya adalah Guangdong, Hongkong dan Macau. Disamping itu Ho Chi Minh City, Manila dan Phnom Penh juga menjadi komponen penting dalam hal distribusi drugs ke pasar internasional, karena tujuan distribusi yang berbeda membuat narkotika tersebut harus melewati tempat atau negara transit untuk memberika supply terhadap pasar domestik dan pasar internasional.[4]
Peredaran Narkotika tidak hanya terjadi sebatas pada negara anggota Golden Triangle saja namun di tiap tiap negara Asia Tenggara pasti menghadapi masalah yang sama seperti di negara Brunei Darussalam terdapat methampetamine kristal, cannabis (ganja) dan ekstasi menjadi fokus pemerintahan karena penggunaannya yang meningkat drastis. Sementara itu di Kamboja di dominasi oleh methamphetamine pil, kristal dan juga bubuk. Di Indonesia sendiri merupakan negara penghasil ganja (cannabis/marijuana) terbesar terutama di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dimana disana banyak terbentang ladang ganja dan ditunjang dengan iklim dan kondisi tanah disana yang membuat tanaman ini tumbuh subur tanpa metode pertanian, selain ganja di Indonesia juga terdapat heroin, ekstasi dan sabu sabu. Laos sebagai anggota dari Golden Triangle memiliki empat jenis narkotika yang beredar disana antara lain adalah heroin, cannabis (ganja), opium, methampethamine pils. Malaysia jenis narkotikanya sangat variatif antara lain heroin, morfin, cannabis, opium ekstasi meskipun bervariasi jenis narkotika yang masuk tapi Malaysia berhasil melakukan penanggulangan permasalahan yang ada. Myanmar juga sebagai anggota dari Golden Triangle sudah jelas bahwa merupakan negara sebagai penghasil dan pengedar heroin terbesar karena disana terdapat ladang opium yang merupakan bahan dasar dari heroin. Di Filipina narkotika yang mendapat perhatian pemerintah adalah sabu sabu dan cannabis, di Singapura juga bervariasi jenis narkotika yang masuk tetapi karena kondisi geografis Singapura yang relatif kecil membuat pemerintah mampu mengatasi penanganan produksi dan penggunaan narkotika dengan efektif.
Sementara itu di Thailand yang juga merupakan negara anggota dari Golden Triangle yang juga menjadi negara transit narkotika ke pasar internasional, jenis narkotika yang banyak disini adalah ya’ba. Dan Vietnam juga merupakan negara yang sukses menanggulangi peredaran narkotika di negaranya dan jenis narkotika yang sempat beredar disana adalah heroin.

Dalam menghadapi peredaran narkotika Asia Tenggara yang semakin meningkat, sebagai Asosiasi Bangsa Bangsa Asia Tenggara  yang berdiri pada tanggal 8 Agustus 1967 dengan tujuan mengembangkan kawasan yang terintegrasi dalam bentuk komunitas, ASEAN melakukan penanggulangan terhadap permasalahan regional yang dihadapi oleh negara anggotanya.
ASOD ( ASEAN Senior Officials on Drugs Matters ) merupakan organisasi bentukan ASEAN pada tahun 1984 yang bertugas dan bertanggung jawab dalam penanggulangan masalah narkoba melalui konsolidasi dan upaya bersama di bidang hukum, kerjasama internasional, penyusunan undang undang serta peningkatan partisipasi organisasi organisasi non pemerintahan, membuat agenda, merencanakan proyek kerjasama terkait permasalahan narkotika serta menghasilkan rekomendasi dari hasil kerja kelompok yang diwadahi oleh ASOD sendiri. Selain ASOD juga terdapat Senior Official Meeting on Transnational Crime ( SOMTC ), ASEAN and China Cooperative Operation in Response to Dangerous Drugs ( ACCORD ), dan ASEAN-EU sub Committe on Narcotics.[5]

1.2 Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan diatas maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
“Mengapa ASEAN berperan dalam Menanggulangi Penyalahgunaan dan Perdagangan Narkotika di Asia Tenggara ? ” Dan Bagimana Kebijakan ASEAN Dalam Menanggulangi Penyalahgunaan dan perdagangan Narkotika Di asia Tenggara?

           


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perdagangan Narkotika di Asia Tengara

Beberapa negara Asia Tengara merupakan produsen utama narkotika dan sebagai tempat transit obat – obatan terlarang yang akan diekspor ke Amerika Utara, Eropa, dan Negara – Negara di Asia lainya. Segitga Emas adalah salah satu wilayah penghasil narkotika yang terkemuka di dunia. Perdagangan narkoba di Segitga Emas tidak lagi sebuah industri berbasis individu dan tersebar seperti di tahun 1980-an, tetapi telah menjadi sangat cangih dan terorganisir, terutama di bagian utara Myanmar. Budidaya opium, pembelian, transportasi, produksi, dan penjualan, meskipun tersebar tetapi terkordinasi dengan baik. Sebelumnya, bisnis narkoba dijalankan oleh satu Mafia lokal, benar-benar mengendalikan perusahan di wilayahnya sendiri. Tapi harini agen sering bekerja sama untuk menjalankan perusahan obat di wilayah masing- masing. Sebagai contoh, pada tahun 198, di antara lebih dari empat puluh pabrik obat di sepanjang perbatasan Myanmar-Cina yang dioperasikan oleh dua atau lebih mafia narkoba yang terpisah.

2.2. Peran ASEAN dalam Menanggulangi Penyalahgunaan dan Perdagangan Narkotika

ASEAN merupakan organisasi yang terbentuk sebagai penganti dari persatuan asia tengara yang saat itu hanya terdiri dari tiga Negara diantaranya yaitu Filpina, Thailand dan Malaysia. ASEAN terbentuk pada 6 Agustus 1987 di Bangkok, Thailand. Pada saat pembentukan ASEAN hanya terdiri dari 5 negara sebagai angotanya yaitu Filipina, Indonesia, Thailand, Singapura, dan Malaysia.
Dalam kasus penelitan ini, fungsi Asociation of South East Asia Nation (ASEAN) sebagai organisasi internasional adalah mewujudkan kerjasama aktif dan saling membantu dalam masalah kepentingan bersama dalam memberantas narkotika.

·   Peranan Organisasi Internasional
Peranan organisasi internasional dapat digambarkan sebagai individu yang berada dalam lingkungan masyarakat internasional. Sebagai anggota masyarakat internasional, organisasi internasional harus tunduk pada peraturan-peraturan yang telah disepakati bersama. Selain itu, melalui tindakan anggotanya, setiap angota tersebut melakukan kegiatan- kegiatan dalam rangka mencapai tujuanya. ASEAN dapat dikatakan menjalankan fungsinya sebagai suatu organisasi internasional yang difokuskan pada urusan memerangi narkotika dengan mendirikan sebuah organisasi dan membentuk kerjasama dengan berbagai pihak.
Negara-negara yang tergabung dalam keangotan suatu Organisasi Internasional berhak meminta bantuan berupa saran, rekomendasi atau aksi langsung berkaitan dengan masalah-masalah dimana pemerintah tidak dapat mengambil resiko dengan hanya bertindak melalui kebijakan nasionalnya. Bahkan sat ini Organisasi Internasional dapat mempengaruhi tingkah laku negara secara tidak langsung, dimana kehadiran mereka -organisasi internasional – mencerminkan kebutuhan suatu masyarakat dunia untuk bekerjasama dalam menangani suatu permasalahan.

 Peranan Organisasi Internasional terbagi dalam 3 (tiga) kategori,
adalah sebagai berikut :

1.      Sebagai instrumen, yaitu organisasi internasional digunakan oleh negara-negara angotanya untuk mencapai tujuan tertentu berdasarkan tujuan politk luar negerinya.
2.      Sebagai arena. organisasi internasional merupakan tempat bertemu bagi angota-angotanya yang membahas dan membicarakan masalah-masalah yang dihadapi. Tidak jarang organisasi internasional digunakan oleh beberapa negara untuk mengangkat masalah dalam negerinya, ataupun mengangkat masalah dalam negeri orang lain dengan tujuan untuk mendapat perhatian internasional.
3.      Sebagai aktor independen. organisasi internasional dapat membuat keputusan-keputusan sendiri tanpa dipengaruhi oleh kekuasan atau paksan dari luar organisasi. (Archer dalam Perwita & Yani, 205 :95).3.

Jelas di atas bahwa suatu organisasi Internasional hanya bisa melakukan tugas dan fungsinya dengan mengambil keputusan dari tubuh Organisasi internasional terkait. Dengan demikian semakin jelas bahwa organisasi internasional merupakan non-state actor (Aktor Non Negara)
yang mempunyai kedudukan dalam sistem Internasional. Organisasi internasional sangat berperan sebagai aktor hubungan internasional karena organisasi internasional sebagai wadah atau instrument bagi koalisi antar angota atau kordinasi kebijakan antar pemerintah, seperti bagaimana ASEAN(Asociation of South East Asia Nation) berperan di Asia Tengara dalam memerangi narkotika di seluruh negara-negara angota ASEAN.

2.3 Kebijakan ASEAN dalam Menanggulangi Penyalahgunaan dan Perdagangan Narkotika.

Masalah penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang (narkotika) dalam kurun waktu tiga dasa warsa terakhir ini bukan saja menjadi masalah nasional dan regional ASEAN tetapi juga menjadi masalah internasional karena itu, upaya penanggulangan masalah penyalahgunaan narkotika dalam negeri harus disenergikan dan diitegrasikan dengan kebijakan penanggulangan masalah narkotika melalui kerjasama regional maupun internasional.
  
  Kebijakan global penanggulangan kejahatan narkotika pada awalnya dituangkan dalam The United Nation's Single Convention on Narcotic Drugs 1961. Konvensi ini pada dasarnya dimaksudkan untuk
1. Menciptakan satu konvensi internasional yang dapat diterima oleh negara-negara di dunia dan dapat mengganti peraturan mengenai pengawasan internasional terhadap penyalahgunaan narkotika yang terpisah-pisah di 8 bentuk perjanjian internasional.
2. Menyempurnakan cara-cara pengawasan peredaran narkotika dan membatasi penggunaannya khusus untuk kepentingan pengobatan dan pengembangan ilmu pengetahuan; dan
3. Menjamin adanya kerjasama internasional dalam pengawasan peredaran narkotika untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut diatas.

Kebijakan penanggulangan penyalahgunaan narkotika di tingkat regional Asia Tenggara disepakati dalam ASEAN Drugs Experts Meeting on the Prevention and Control of Drug Abuse yang diselenggarakan pada tanggal 23-26 Oktober 1972 di Manila. Tindak lanjut dari pertemuan di atas adalah ASEAN Declaration of Principles to Combat the Abuse of Narcotic Drugs, yang ditanda tangani oleh para Menteri Luar Negeri negara-negara onggota ASEAN pada tahun 1976. Isi dari deklarasi regional ASEAN ini meliputi kegiatan-kegiatan bersama untuk meningkatkan :
1.      Kesamaan cara pandang dan pendekatan serta strategi penanggulangan kejahatan  
narkotika.
2.   Keseragaman peraturan perundang-undangan di bidang narkotika
3.   Membentuk badang koordinasi di tingkat nasional; dan
4.   Kerja sama antar negara-negara ASEAN secara bilateral, regional, dan internasional.

    Dalam rangka ini kemudian dibentuk The ASEAN Senior Officials on Drugs dan satu Forum Kerja Sama Kepolisian antar negara-negara ASEAN (ASEANAPOL) yang antara lain bertugas untuk menangani tindak pidana narkotika transnasional di wilayah ASEAN. Selain iru, di tingkat negara-negara ASEAN juga dibentuk Narcotic Boarrd dengan membentuk kelompok kerja penegakan hukum, rehabilitasi dan pembinaan, edukasi preventif dan informasi, dan kelompok kerja di bidang penelitian. Pada tahun 1992 dicetuskan Deklarasi Singapura dalam ASEAN Summit IV yang menegaskan kembali peningkatan kerjasama ASEAN dalam penegakan hukum terhadap kejahatan narkotika dan lalu-lintas  perdagangan narkotika ilegal pada tingkatan nasional, regional, maupun internasional.

Kejahatan transnasional di Asia Tenggara merupakan masalah yang penting dan perlu untuk dibahas dalam konteks ASEAN dan keamanan regional. Kejahatan transnasional menimbulkan ancaman bagi negara, perekonomian negara dan masyarakat sipil. Aktor non negara dapat menggunakan kejahatan transnasional untuk mempromosikan tujuan politik mereka, kelompok ini mendapat kekuatan dari kemampuan mereka untuk menjalin hubungan lintas batas-batas negara. Organisasi kejahatan transnasional mengambil keuntungan dari pejabat dan politikus yang korup serta lemahnya lembaga penegak hukum untuk memperluas
pengaruhnya eksistensinya.

Perdagangan narkoba selalu terkait dengan pencucian uang yang merupakan salah satu kejahatan transnasional yang paling berbahaya.
Kegiatan perdagangan narkotika merupakan tantangan terhadap kedaulatan nasional dan integritas negara serta mengancam kelangsungan pemerintahan yang sah. Selain itu, kejahatan pencucian uang hasil narkotika melemahkan kredibilitas lembaga keuangan dan mengganggu ketertiban sosial.

Pada dasarnya sekuritisasi dipahami sebagai proses politik untuk menjadikan suatu masalah/ isu yang tadinya bukan masalah/isu militer menjadi masalah keamanan, dengan melihat isu/masalah tersebut dari sisi security, sehingga kemudian menjadi isu/masalah tersebut dijadikan agenda nasional suatu negara. Konsep sekuritisasi sendiri merupakan konsep baru yang berkaitan dengan power of idea, yang dipahami sebagai kemampuan untuk memproduksi ide dan menghasilkan sebuah discourse untuk mempengaruhi pihak lain. Unsur political process dalam tahapan sekuritisasi menunjukan besarnya peran negara. Isu awalnya bukanlah prioritas negara kemudian beranjak menjadi masalah keamanan nasional, di mana negara berhak untuk sepenuhnya concern dalam isu tersebut. Kerjasama ASEAN dalam menangani masalah perdagangan narkotika tercakup dalam wadah ASEAN Senior Official on Drug Matters (ASOD).

Kerjasama ini dimulai pada saat ASEAN Ministerial Meeting (AMM) di Manila 26 Juni  1976, dengan ditandatanganinya ASEAN Declaration of Principle to Combat the Abuse of Narcotics Drugs. Pada tahun 1982 dibentuk ASEAN Drugs Experts, sebagai subkomite dibawah Comimittee on Social Development (COSD) dan Narcotic Desk di Sekretariat ASEAN.
Pada sidang tahunan yang ke 8 di Jakarta, ASEAN Drugs Experts mengubah namanya menjadi ASEAN Senior Official on Drug Matters(ASOD) sebagai wadah bagi negara-negara ASEAN untuk bekerjasama dalam menangani masalah narkoba dan obat-obatan terlarang.

Pada pertemuan ke 17 ASOD pada bulan oktober 1994 dihasilkan rencana kegiatan ASEAN Plan of Action on Drug Abuse Control yang meliputi empat bidang prioritas diantaranya pendidikan untuk penyalahgunaan narkoba, perawatan dan rehabilitasi, pemberdayaan dan penelitian. ASEAN juga merumuskan kebijakan melawan kejahatan perdagangan narkotika, kebijakan tersebut meliputi ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime (AMMTC), ASEAN Finance Ministers Meeting (AFMM), ASEAN Chiefs of National Police (ASEANOPOL), dan ASEAN Senior Officials on Drugs Matters (ASOD).

ASEAN juga menjalin kerjasama dengan China dan United Nation International Drug Control Programme (UNDCP), salah satu organ PBB yang bergerak dibidang penanggulangan masalah narkotika. Pada perkembangannya, baik China maupun UNDCP, tanggal 11-13 Oktober 2000 ikut berpartisipasi secara aktif. Kongres yang bertema “In Pursuit of a Drug Free ASEAN 2015. Sharing the Vision, Leading the Change” tersebut menghasilkan dua hal penting, yaitu sebuah deklarasi politik dan sebuah plan of action yang berjudul “ACCORD-ASEAN and China Cooperative Operation in Response to Dangerous Drug”.

Pentingnya masalah pengawasan dan pencegahan penggunaan obat-obatan berbahaya telah mendorong ASEAN Drug Experts untuk menetapkan suatu pendekatan regional. Pada sidang yang ke 8 ASEAN Drugs Experts berhasil mengesahkan “ASEAN Regional Policy and Strategy in The Prevention and Control of Drug Abuse and Illicit Trafficking”. Kebijakan dan strategi tersebut membawa dimensi baru pada persepsi dan pendekatan untuk memberantas narkoba yaitu dengan memandang maslah ini tidak hanya sebagai masalah sosial dan kesehatan saja tetapi juga mempertimbangkan dampaknya terhadap masalah keamanan, stabilitas, kesejahteraan dan ketahanan nasional.

“ASEAN Regional Policy and Strategy in The Prevention and Control of Drug Abuse and Illicit Trafficking” pada dasarnya berisikan tiga komponen utama,yakni:
a) Kebijakan (policy)
Komponen ini mendorong negara-negara ASEAN untuk dapat menyelaraskan pandangan, pendekatan, strategi dan koordinasi yang lebih efektif pada tingkat nasional, regional dan internasional, serta memberdayakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di dalam upaya untuk mengatasi masalah narkoba
b) Pendekatan (approach)
Komponen kedua ini dimaksudkan untuk mendorong negara-negara ASEAN untuk segera menerapkan pendekatan keamanan dan kesejahteraan secara seimbang (a balanced security and prosperity approach) di dalam mengatasi masalah narkoba yang selanjutnya harus tersermin didalam implementasi program-program dan kegiatan-kegiatannya. 
c) Strategi (strategies)
Komponen ketiga ini merekomendasikan untuk menempuh berbagai langkah terpadu untuk mengurangi persediaan atau peredaran (supply) dan permintaan (demand) serta mempertegas sistem pengawasan legalnya.

Pada tahun 1985, ASEAN turut mensponsori resolusi PBB no 40/122 menegani perlunya untuk mengadakan suatu Konferensi Dunia pada tingkat menteri mengenai penyalahgunaan narkoba dan peredaran ilegalnya.International Conference on Drug Abuse and Illicit Trafficking (ICDAIT) yang pada akhirnya berhasil di adakan di Wina, pada tahun 1987 dan mengeluarkan dua kesepakatan penting yaitu Deklarasi dan Comprehensive Multidiciplinary Outline of Future Activities in Drug Abuse Control atau CMO. Kesepakatan tersebut menekankan pentingnya pendekatan yang berimbang antara faktor pencegahan, perawatan dan rehabilitasi para pecandu obat-obatan terlarang. Baik dalam pembuatan kebijakannya maupun tindakannya, dengan upaya mengurangi persediaan pasokan narkoba dan perdagangan ilegalnya.
Adapun resolusi yang diharmonisasikan ASOD dari hasil CMO tersebut adalah:
1. PBB melakukan konsultasi dengan pemerintah negara-negara melalui agensi PBB serta NGO yang ada untuk merumuskan strategi global dalam hal demand reduction, tujuan, prioritas dan pertanggung jawaban, kemudian memberikan laporan ke CND (commission on narcotics drugs).
2.Pengembangan konsultasi dengan mengikutsertakan NGO untuk merancang strategi demand reduction yang diteruskan kepada ECOSOC (Economic Sosial Council) agar diadopsi majelis umum.
3.Penyusunan seperti rancangan deklarasi, untuk memperhitungkan, mempertimbangkan rekomendasi yang relevan yang terkandung dalam CMO dengan memperhatikan fleksibilitas dan efektifitas biaya.
4.Perhatian khusus terhadap evaluasi pengembangan metode inovatif pengumpulan data dan anlisis, mengidentifikasi mengenai sifat, lingkup, dan konsekuensi dari penyalahgunaan narkoba dan melakukan revisi tahunan melalui laporan kuisioner.
5. Demand Reduction harus menjadi agenda permanen dalam setiap pertemuan.
6. Mendorong pemerintah, organisasi regional dan badan-badan multilateral lainnya untuk bekerja sama dalam penggunaan biaya ECOSOC untuk mengurangi supply and demand dari peredaran narkotika ini.
7. Mendorong pemerintah untuk mengadopsi strategi nasional yang komprehensif yang mencerminkan realitas dan perlunya keseimbangan antara upaya pengurangan persediaan dan permintaan, dengan hubungan operasional antar daerah, dengan mempertimbangkan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya dari masing-masing negara.
8. Mendorong Direktur Eksekutif Program agar terus memfalisitasi dan mempromosikan penyebarluasan informasi serta berbagi manfaat dari pengalaman yang diperoleh dalam pengembangan dan pelaksanaan strategi nasional yang seimbang.
9. Menyertakan International Narcotics Control Board untuk terus melaporkan kemajuan dan hambatan ditingkat nasional, dengan terus memberikan pemahaman yang lebih komprehensif terhadap drugs trafficking.
10. Melakukan kerjasama antar pemerintah dalam hal demand reduction ditingkat regional dan internasional melalui pertemuan, pertukaran informasi, pengalaman dan expertise.
11. Menekankan perlunya keterlibatan tenaga sukarela serta partisipasi masyarakat terkait penanggulangan drugs trafficking.
12.     UNCDP bertugas untuk merumuskan pengertian istilah-istilah dan melakukan sosialisasi agar masyarakat memiliki pemahaman yang sama.
13.     Mendorong sekjen PBB untuk meneruskan resolusi ini kepada semua pemerintah negara untuk dipertimbangkan dan diimplementasi.

ASOD memiliki empat kelompok kerja, yaitu: pendidikan pencegahan, perawatan dan rehabilitasi, penegakan hukum dan penelitian. Program-program ini dilengkapi dengan dibentuknya empat pusat pelatihan terkait bidang prioritas dikawasan antara lain:[6]

 ASEAN Training Centre for Narcotics Law Enforcement di Bangkok Bidang penegakan hukum ini dicetuskan setelah pertemuan ASEAN Drug Experts ke-4 pada tahun 1979 yang merekomendasikan bahwa negara-negara ASEAN membutuhkan pelatihan khusus untuk meningkatkan pengamanan nasional dan memperkuat jaringan kerja regional akan penegakan hukum dibidang narkoitka dan obat-obatan terlarang. Kegiatan utamanya yang diambil ditingkat pusat adalah: mengatur semua pelatihan penegakan hukum anti narkoba dan obat-obatan terlarang yang diikuti oleh semua negara anggota dengan bantuan dari pemerintah AS dan mempersiapkan proyek pelatihan tiga tahun untuk memenuhi kebutuhan ASEAN akan proyek jangka panjang dengan dukungan UNDP. Pelatihan bagi pejabat menengah penegak hukum narkotika dan obat-obatan terlarang dan lokakarya bagi pejabat senior penegak hukum narkotika dan obatobatan terlarang telah diadakan tiap tahunnya, dengan memfokuskan pada satu masalah utama yaitu, lokakarya dan pelatihan tentang investigasi keuangan dan penyitaan asset-aset, pengumpulan data intelejen, analisa dan penyebaran informasi, serta pengantaran yang diawasi juga telah dilaksanakan.


b)   ASEAN Training Centre for Preventive Drug Education di Manila Bidang ini dibentuk dengan tujuan spesifik yaitu untuk melindungi anak-anak dan generasi muda dari penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang melalui program pencegahan penggunaan narkotika dan obat-obatan terlarang yang sama dan terus menerus.

c)      ASEAN Training Centre for Treatment and Rehabilitation Training Centre for Treatment and Rehabilitation memiliki tugas dalam hal pengembangan, pertukaran informasi tentang metode perawatan dan rehabilitasi bagi para pecandu narkoba.

d)     ASEAN Training Centre for the Detection of Drugs in Body fluids Singapura merupakan negara yang dipercaya ASOD untuk memimpin working group ini serta menjadi pusat pelatihan dan penelitian narkotika cair. Pusat laboratorium di Singapura tidak hanya menjadi acuan di kawasan Asia Tenggara saja, tetapi juga menjadi rujukan bagi negara-negara mitra wicara ASEAN. Hal ini dikarenakan fasilitas yang dimiliki laboratorium narkotika di singapura sangat lengkap. Prospek yang ditunjukan singapura dalam hal pengembangan laboratorium ternyata mendorong ASEAN sendiri untuk meningkatkan proyek pengembangan klinik berbasis kimia untuk mengobati pasien dalam jangka waktu yang lebih cepat. Tentunya ini akan lebih efektif jika dibandingkan dengan metode perawatan dan rehabilitasi yang bertahap. (www.asean.org)[7]


BAB III
PENUTUPAN
3.1 KESIMPULAN
Peran ASEAN dalam menanggulangi masalah peredaran dan perdagangan narkotika ilegal di Asia Tenggara adalah sebagai fasilitator dengan mendorong negara-negara di kawasan Asia Tenggara untuk ikut aktif dalam menanggulangi kejahatan transnasional perdagangan narkoba dan menjalin kerjasama baik dalam lingkup ASEAN maupun dalam lingkup bilateral dan internasional.
ASEAN telah membangun kerjasama dengan UNDCP, UNDP, dan Uni Eropa. Kerjasama tersebut memberi beberap keuntungan seperti adanya pertukaran informasi dan keahlian (expertise) dalam hal manajemen pengelolaan permasalahan perdagangan narkotika ilegal. ASEAN Regional Policy and Strategy in The Prevention and Control of Drug Abuse and Illicit Trafficking membawa suatu dimensi baru pada persepsi dan pendekatan untuk memberantas masalah narkoba yaitu memandang masalah narkoba tidak hanya sebagai masalah sosial dan kesehatan saja tetapi juga mempertimbangkan dampaknya terhadap masalah keamanan, stabilitas, kesejahteraan dan ketahanan nasional.
Dengan adanya training centre di kawasan Asia Tenggara, maka kerjasama baik pertukaran informasi, pelatihan, penelitian dan rehabilitasi terjalin dengan baik bahkan kerjasama ini tidak hanya dalam lingkup ASEAN tetapi juga negara-negara non ASEAN.





DAFTAR PUSTAKA
Buku :
·         Ralf Emers, “The Threat of transnational crime in Southeast Asia: drug trafficking, human smuggling and trafficking and sea piracy”. UNISCI Discussion Papers, Nǖm. 2, mayo-sinmes, 2003, Universidad Complutense de Madrid , España, hal 9.
·         ASEAN Selayang Pandang, edisi 2008. Direktorat Jendral ASEAN Departemen Luar Negri Republik Indonesia 2008, hal 79.
·         Andri Prima. 2010. Peran ASOD (Asean Senior Officials On Drugs Matters) Dalam Menanggulangi Drugs Trafficking di Asia Tenggara. Program Sarjana Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta.
·         Yamin, Matengkar.  Intelijen Indonesia : Towards Professional Intelligence. Gajahmada University Press 2006.
·         Anak Agung Banyu Perwita & Yanyan Mochamad Yani. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Remaja Rosda Karya. Bandung 2005
·         Zarina Othman, Myanmar, Illicit Drug Trafficking and Security implication.  (Akademika 65, 2004) hal 33
·         Zarina Othman, Myanmar, Illicit Drug Trafficking and Security implication.  (Akademika 65, 2004)

Internet :
·         http://haryo-prasodjo.blogspot.com
·         http://smulya.multiply.com/journal/item/46
·         http://66.102.9.132/search?q=cache:vYHFvHrq8_UJ:
·         www.banyumaskab.go.id/
·         http://smulya.multiply.com/journal/ item/46
·         http://ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id




[1]http://66.102.9.132/search?q=cache:vYHFvHrq8_UJ:www.banyumaskab.go.id/bmskita/data%2520umum/Deskripsi%2520Narkoba.ppt+narkoba&cd=18&hl=id&ct=clnk&gl=id diakses pada 5 januari 2015
[2] Zarina Othman, Myanmar, Illicit Drug Trafficking and Security implication.  (Akademika 65, 2004) hal 33.
[3] The Golden Triangle-Maesai Thailand. http://smulya.multiply.com/journal/ item/46 diakses pada 5 januari 2015
[4] Ralf Emers, “The Threat of transnational crime in Southeast Asia: drug trafficking, human smuggling and trafficking and sea piracy”. UNISCI Discussion Papers, Nǖm. 2, mayo-sinmes, 2003, Universidad Complutense de Madrid , España, hal 9.
[5] ASEAN Selayang Pandang, edisi 2008. Direktorat Jendral ASEAN Departemen Luar Negri Republik Indonesia 2008, hal 79.
[6] Andri Prima. 2010. Peran ASOD (Asean Senior Officials On Drugs Matters) Dalam Menanggulangi Drugs Trafficking di Asia Tenggara. Program Sarjana Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta.
[7] http://ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id/site/wp-content/uploads/2013/09/ejournal%20file%20(09-04-13-03-31-17).pdf di akses pada 10 januari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar