BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perang dingin
yang sudah berakhir membawa perubahan yang sangat cepat dan signifikan di dalam
dunia global maupun sistem internasional. Berkembangnya isu-isu konflik yang
muncul dalam dunia global membuat harapan dan tantangan yang baru bagi semua
negara, khususnya dalam bidang keamanan. Perkembangan-perkembangan tersebut
sedikit banyak berdampak pada tatanan kehidupan di kawasan internasional pada
umumnya dan kawasan regional pada khususnya. Contoh masalah konkritnya adalah
masalah persengketaan suatu wilayah Internasional, Kepulauan Spratly di Laut China Selatan.
Sengketa mengenai kepemilikan kedua pulau ini merupakan suatu sengketa yang
mempunyai jalan penyelesaian yang panjang dan cukup melibatkan banyak negara.
Dalam permasalahan ini pun bukan hanya terbatas pada masalah kedaulatan atas
Pulau Spratly tetapi juga mengenai landas kontinen, Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE) serta penggunaan teknologi dan eksplorasi dari pulau tersebut. Dapat
dikatakan pula bahwa sebenarnya persengketaan ini adalah sebuah permasalahan
ideologi, nasionalisme yang menyatu dengan kepentingan nasional suatu negara
dalam bidang ekonomi.
Sengketa
teritorial dan penguasaan kepulauan di Laut Cina Selatan berawal dari tuntutan
Cina atas seluruh pulau-pulau di kawasan laut Cina Selatan yang berdasar pada
bukti-bukti sejarah, penemuan situs, dokumen-dokumen kuno, peta-peta, dan
penggunaan gugus-gugus pulau oleh nelayannya. Menurut Cina, sejak 2000 tahun
yang lalu, Laut Cina Selatan telah menjadi jalur pelayaran bagi mereka. Beijing
menegaskan bahwa bukti-bukti arkeologis Cina pada 220 Sebelum Masehi
menunjukkan bahwa semua pulau di Laut Cina Selatan adalah milik Cina. Namun
Vietnam menyebutkan bahwa Pulau Paracel dan Pulau Spratly merupakan bagian dari
wilayah kedaulatannya yang sudah dieksplorasi sejak abad ke-17. Dengan seiring
berjalannya waktu, Vietnam yang bersikeras menyebut bahwa kedua pulau tersebut
adalah miliknya dan tetap menduduki wilayah tersebut pada saat berakhirnya
Perang Dunia ke II.
Dapat dikatakan
bahwa Pulau Spratly merupakan wilayah yang bersengketa dengan banyak negara
sejak tahun 1971, namun penyelesaian masalah ini bermula dari latar belakang
faktor sejarah akibat dari tindakan kolonialisme pasca perang dunia ke II. Filipina pernah
menduduki gugusan pulau di Spratly pada sekitar tahun 1970an. Alasannya adalah
karena kawasan tersebut merupakan daerah yang tidak dimiliki oleh negara
manapun. Pernyataan Filipina tersebut berdasarkan pada rujukan Perjanjian
Perdamaian San Francisco 1951 yang berisi tentang pelepasan hak Jepang atas
Pulau Spratly.
Malaysia juga
sempat menduduki beberapa gugus Pulau Spratly. Kedua pulau tersebut diklaim
oleh Malaysia dengan mengacu pada peta batas landas kontinen Malaysia yang
menggambarkan bahwa sebagian dari gugusan Pulau Spratly adalah merupakan bagian
dari negaranya. Di sisi lain, Brunei
Darussalam yang baru merdeka dari jajahan Inggris pada 1 Januari 1984 pun turut
serta dalam permasalahan Laut Cina Selatan ini. Namun, Brunei tidak mengklaim
gugusan pulau dari Kepulauan Laut Cina Selatan itu, melainkan mengklain
perairan yang berada di sekitar kepulauan tersebut.
Pada tahun 1988
pun Cina baru membangun konstruksi dan instalasi militer secara besar-besaran
dan dengan waktu yang singkat. Selain membangun saran militer tersebut, Cina
juga menempatkan pasukan militernya untuk berlatih sekaligus menjaga kepulauan
tersebut. Pada tahun yang sama, Cina melakukan negosiasi jalan damai dengan
Filipina dan Malaysia untuk menyelesaikan masalah mengenai kepemilikan Pulau
Spratly. Pertentangan antar negara dalam memperebutkan kepulauan Spratly tidak
hanya sebatas mengklaim pulau itu sebagai miliknya, tetapi juga mendudukinya.[1].
Sehingga
muncullah keputusan China untuk menyelesaikan kasus ini secara damai akan
tetapi juga terlihat agak frontal. Hal
ini semakin terlihat jelas dengan pengeluaran Undang-Undang tentang Laut
Teritorial dan Contiguous Zone pada tanggal 25 Febuari 1992 secara de jure oleh
Cina dan telah diloloskan Parlemen Cina yang memasukkan Kepulauan Spratly
sebagai wilayahnya. Dan secara de facto, Cina telah menempatkan pasukan
militernya untuk menjaga kepulauan tersebut untuk memperkuat pencapaian
keinginannya. Demikianlah, persengketaan teritorial ini menciptakan potensi
konflik yang luar biasa besar di sepanjang kawasan Asia Pasifik.[2].
1.2 Rumusan Masalah
Dengan latar belakang diatas, maka dapat
di paparkan rumusan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana
Kebijakan Politik Luar Negeri China dalam Menyelesaikan Kasus Persengketaan?
2. Bagaimana
Pandangan PBB dalam menangani
kasus Persengketaan kepulauan Spratly?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Politik Luar Negeri China
§
Kebijakan Politik Luar Negeri
Non Perang
China dengan teguh tak tergoyahkan menjalankan politik
luar negeri damai yang bebas merdeka dengan tujuan pokoknya memelihara
kemerdekaan, kedaulatan dan keutuhan wilayah China, menciptakan suatu iklim
internasional yang kondusif untuk reformasi dan keterbukaan serta modernisasi
China, memelihara perdamaian dunia dan mendorong perkembangan bersama. Isi
utamanya meliputi: China senantiasa menjalankan prinsip bebas merdeka, tidak
bersekutu dengan negara besar atau kelompok negara manapun, tidak mendirikan
kelompok militer, tidak ikut serta dalam perlombaan persenjataan dan tidak
mengadakan perluasan militer.
China menentang
hegemonisme, memelihara perdamaian dunia dan berpedirian semua negara baik
besar maupun kecil, kuat maupun lemah serta miskin maupun kaya sama-sama adalah
anggota masyarakat internasional yang sama derajat. Persengketaan dan
konfrontasi antar negara seharusnya diselesaikan secara damai melalui
musyawarah, tidak seharusnya menggunakan kekuatan bersenjata atau mengacam
dengan kekuatan bersenjata, tidak boleh mencampuri urusan dalam negeri negara
lain dengan dalih apapun. China dengan aktif mendorong pembinaan tata baru
politik dan ekonomi internasional yang adil dan rasional. lima prinsip hidup
perdampingan secara damai dan patokan hubungan internasional lain yang diakui
umum harus dijadikan sebagai dasar pembinaan tata baru politik dan ekonomi
internasional.
China bersedia menggalang dan mengembangkan hubungan
kerja sama bersahabat dengan semua negara di atas dasar saling menghormati
kedaulatan dan keutuhan wilayah, saling tidak mengagresi, saling tidak
mengintervensi urusan dalam negeri, persamaan derajat dan saling menguntungkan
dan lima prinsip hidup perdampingan secara damai. China melaksanakan politik
terbuka terhadap dunia luar secara menyeluruh, bersedia di atas dasar prinsip
persamaan derajat dan saling menguntungkan mengembangkan hubungan perdagangan ,
kerjasama ekonomi dan teknik serta pertukaran ilmu dan budaya secara luas
dengan berbagai negara dan daeah di dunia, untuk mendorong kemakmuran bersama. Selama
lebih 50 tahun berdirinya RRT, dalam diplomasi China telah terbentuk
seperangkat langgam diplomatik yang berciri khas China melalui pemadatan,
penyesuaian kembali dan perkembangan serta penyempurnaan kebijakan. Memandang
ke depan, kecenderungan multipolarisasi konfigurasi dunia dan globalisasi
ekonomi terus berkembang dan hubungan internasional tengah mengalami
penyesuaian kembali yang mendalam. Perdamaian, kerja sama dan mendorong
perkembangan telah menjadi seruan bersama rakyat berbagai negara.
Diplomasi China di samping menghadapi pelung juga
menghadapi tantangan. Maka diharuskan senantiasa berfikiran jernih,
meningkatkan kesadaran krisis, kesadaran keamanan dan kesadaran menghadapi
perubahan. Dengan tepat mengenal dan menguasai iklim internasional dengan
bertolak dari kecenderungan umum perubahan situasi internasional, memanfaatkan
sebaik-baiknya peluang, Menyongsong
tantangan dan memanfaatkan faktor yang menguntungkan dan menyingkirkan faktor
yang merugikan. China akan terus dengan sungguh-sungguh melaksanakan politik
luar negeri yang bebas merdeka, terus merintis situasi baru pekerjaan
diplomatik, menciptakan lebih lanjut iklim perdamaian internasional yang
kondusif untuk modernisasi sosialis China dan memberikan sumbangan untuk usaha
perdamaian dan pembangunan dunia[3]
2.2
Pandangan PBB dalam Sengketa
Kepulauan Spratly
Terdapat enam negara yang mengklaim kepemilikan atas
Kepulauan Spratly yaitu Cina, Vietnam, Brunei Darussalam, Filipina, Taiwan dan
Malaysia. Berdasarkan hukum laut ZEE, dari ke enam negara tersebut sebenarnya
hanya Malaysia, Brunei Darussalam, dan Filipina yang berhak atas kepemilikan
dan pengelolaan kepulauan Spartly, karena hanya ketiga negara tersebut yang
Zona Ekonomi Eksklusifnya mencapai Kepulauan Spratly. Status kepemilikan
kepulauan tersebut tidak terlepas dari hukum atau peraturan yang ada mengenai
kelautan.
Ahli kelautan Hugo De Groot pada tahun 1609
memperkenalkan azas kelautan yang kemudian dikenal dengan azas laut bebas (mare
liberium) yang menyatakan bahwa keberadaan laut bebas berhak untuk
dieksploitasi oleh siapa saja tetapi tidak dapat dimiliki oleh siapapun juga.
Kemudian atas dasar inilah, Kepulauan Spratly tidak dibenarkan untuk dimiliki
oleh negara manapun, karena akan bertentangan dengan azas laut bebas tersebut.
Namun seratus tahun kemudian, muncullah azas baru yang kemudian dikenal dengan
azas laut tertutup (mare clausum) yang menyatakan bahwa laut dapat dikuasai
oleh suatu bangsa dan negara saja pada periode tertentu.
Secara umum, Kepulauan Spratly memang rawan memiliki
potensi untuk terjadinya konflik terutama disebabkan oleh beberapa hal berikut;
tempat yang strategis yang dan menyangkut kepentingan beberapa negara,
konfrontasi sejarah yang panjang antar negara-negara pengklaim, adanya beberapa
klaim kepemilikan yang tumpang tindih, dan perebutan sumber daya alam serta
konflik yang paling dominan adalah terjadinya bentrokan senjata antara Cina dan
Vietnam pada tahun 1988. Inti permasalahannya adalah adanya ketidakpastian hak
kepemilikan atas pulau-pulau dan perairan di sekeliling wilayah kepulauan
Spartly
Sudut Pandang Hukum
Internasional atas Kepulauan Spratly (Sudut pandang PBB)
China
adalah nomor dua dalam kekuasaan politik di wilayah dan juga menjadi anggota
tetap Dewan Keamanan PBB. Mereka memiliki minat yang kuat dalam perdagangan,
investasi asing langsung dan pariwisata yang memerlukan keamanan strategis baik
dalam politik dan militer. Di PBB, China memainkan “Good Boy”
sebagai kebijakan luar negeri, yang memastikan bahwa China akan abstain dalam
semua masalah di Dewan Keamanan PBB, kecuali masalah yang memiliki korelasi
langsung dengan China. Mereka juga memainkan “soft power” permainan
(dengan berbagai program bantuan internasional) untuk menyebar pengaruh mereka
ke negara-negara di kawasan untuk memenangkan hati dan pikiran mereka.
Berdasarkan konvensi PBB dalam hukum
laut internasional (UNCLOS) yang telah diadopsi pada tahun 1982, setiap negara
berhak memasukkan wilayah hingga 12 mil laut sebagai bagian dari kedaulatannya
dan 200 mil laut untuk Zona Ekonomi Eksklusif. Acuan hukum UNCLOS inilah yang
menjadi faktor pendorong utama negara-negara terus menerus melalukan eksplorasi
berlebih terhadap sumber daya alam di lautan. Kepulauan Spratly mengundang
negara-negara untuk mengklaim, seperti Brunei Darussalam misalnya yang
mengklaim salah satu wilayah kepulauan Spratly yaitu Louisa Reef dan Riffleman.
Filipina mengklaim sejumlah 8 gugusan pulau kecil yang merupakan bagian dari
pulau Spratly.
Jika
diihat dari sudut pandang hukum internasional atas kepulauan Spartly, maka kita
bisa mengacu kepada hukum laut internasional PBB, yaitu UNCLOS (United Nations
Convention on the Law of the Sea) 1982. Ada beberapa pasal yang terdapat dalam
hukum UNCLOS yang berkaitan dengan klaim kepemilikan kepulauan Spartly, yaitu :
1.
Pasal 15 UNCLOS 1982 mengenai garis tengah dalam penetapan batas dua negara
pantai
“Untuk menentukan garis tengah wilayah laut
dua negara yang berhadapan atau bersebelahan, maka diukur dari jarak tengah
dari masing-masing titik terdekat garis pantai masing-masing negara . . .”
2.
Pasal 76 UNCLOS 1982 mengenai Landas Kontinen
“Batas terluar landas kontinen suatu negara
pantai dinyatakan sampai kedalaman 200 mil laut atau di luar batas itu sampai
kedalaman air yang memungkinkan dilakukannya eksplorasi dan eksploitasi sumber
daya alam . . .”]
3.
Pasal 122 UNCLOS 1982 mengenai Laut Setengah Tertutup
“Laut Tertutup atau Setengah Tertutup yang
berarti suatu daerah laut yang dikelilingi oleh dua atau lebih negara dan
dihubungkan dengan laut lainnya atau samudera, oleh suatu alur laut yang sempit
atau terdiri seluruhnya atau dari laut territorial dan Zona Ekonomi Eksklusif
dua atau lebih negara pantai.”
4.
Pasal 289 UNCLOS 1982 mengenai penentuan penetapan batas wilayah
“Penetapan batas wilayah sebaiknya dengan
melakukan perjanjian internasional yang disepakati negara-negara, dan
penggunaan hak sejarah dapat digunakan asalkan tidak mendapat pertentangan dari
negara lain . . .”
5.
Pasal 279, 280, 283, dan 287 UNCLOS 1982 mengenai penyelesaian sengketa
Pasal-pasal
tersebut diatas menjelaskan mengenai kewajiban dari setiap pihak yang bertikai
untuk menyelesaikan sengketa dengan cara-cara yang damai.[4]
[1] http://ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id/site/wp-
content/uploads/2014/03/eJournal%20Ilmu%20Hubungan%20Internasional%20(Afif)%20(03-07-14-05-02-20).pdf
di akses pada Senin, 14 September 2015 pukul 8 pm.
content/uploads/2014/03/eJournal%20Ilmu%20Hubungan%20Internasional%20(Afif)%20(03-07-14-05-02-20).pdf
di akses pada Senin, 14 September 2015 pukul 8 pm.
[2]
http://pengantardiplomasi.blogspot.co.id/2010/06/soft-diplomacy-sebuah-upaya.html di
akses pada Senin, 14 September 2015 pukul 8.45 pm.
[3]
Di Akses pada Senin 14 September 2015 dari http://indonesian.cri.cn/chinaabc/chapter4/chapter40201.htm
[4]
http://irjournal.webs.com/apps/blog/show/4113964
http://www.un.org/Depts/los/convention_agreements/texts/unclos/closindx.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar