Kamis, 23 April 2015

Wanita Dalam Pandangan Suku Asmat



Simbolisasi perempuan dengan Flora & Fauna yang berharga bagi masyarakat Asmat (pohon/kayu,kuskus,anjing,burung kakatua dan nuri,serta bakung),seperti kata Asmat diatas,menunjukkan bagaimana sesungguhnya masyarakat Asmat menempatkan perempuan yang sangat berharga bagi mereka.Hal ini tersirat juga dalam berbagai seni ukiran dan pahatan mereka.Namun dalam gegap gempitanya serta kemasyuran pahatan dan ukiran Asmat.
Tersembunyi suatu realita derita para Ibu dan gadis Asmat yang tak terdengar dari dunia luar. Derita perempuan Asmat menjadi pelakon tunggal dalam menghidupi suku tersebut.Setiap harinya mereka harus menyediakan makanan untuk suami dan anak-anaknya, mulai dari mencari ikan,udang,kepiting,dan tembelo sampai kepada mencari pohon sagu yang tua,menebang pohon sagu,menokok,membawa sagu dari hutan,memasak dan menyajikan.Setelah itu mencuci tempat makanan atau tempat masak termaksud mengambil air dari telaga atau sungai yang jernih untuk keperluan minum keluarga. Sementara itu kegiatan laki-laki Asmat sehari-harinya adalah menikmati makanan yang disediakan istrinya,mengisap tembakau,dan berjudi.

Kadang suami membuat rumah atau perahu,namun dengan batuan istri.Ada pula suami yang mau menemani istrinya mencari kayu bakar.Sayangnya mereka hanya benar-benar menemani.Mendayung perahu,menebang kayu,dan membawanya pulang adalah tugas istri.Suami yang cukup berbaik hati akan membantu membawakan kapak istrinya. Jika istri tidak menyiapkan permintaan suaminya seperti sagu atau ikan,maka istri akan menjadi korban luapan kemarahan.Jika mereka kalah judi,maka istri pula yang akan dijadikan obyek kekesalan.Mereka yang tinggal di Agats,kini terbiasa pula untuk mabuk,mereka lebih rentan untuk mengamuk,sehingga istripun yang akan lebih banyak menerima tindak kekerasan. Kadangkala laki-laki Asmat mengukir,jika mereka ingin tau atau jika hendak menyelenggarakan pesta.Ketika laki-laki mengukir,maka tugas perempuan akan semakin bertambah.Perempuan harus terus menyediakan sagu bakar dan makanan lain yang diinginkan suami mereka agar dapat terus bertenaga untuk mengukir.Semakin lama laki-laki mengukir,semakin banyak pula makanan yang harus mereka sediakan.Hal itu berarti akan semakin lelah perempuan Asmat,karena harus memangur,meramah,dan mengolah sagu,dan bahkan menjaring ikan,lebih tragisnya lagi,jika ukiran itu dijual,maka uangnya hanya untuk suami yang membuatnya,perempuan Asmat tidak menerima imbalan apapun untuk jerih payahnya menyediakan makanan. Padahal tanpa makanan itu,satu ukiranpun tidak akan selesai dibuat.

Sumber :
Dewi Linggasari,2004,Yang Perkasa Yang Tertindas. Potret Hidup Perempuan Asmat.Yogyakarta : Bigraf Publishing,bekerjasama dengan Yayasan Adhikarya IKAPI dan The Fourt Foundation. Sudarman, Dea (1993) Menyingkap Budaya Suku Pedalaman Irian Jaya. Jakarta: Delata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar