Simbolisasi perempuan dengan Flora & Fauna yang berharga
bagi masyarakat Asmat (pohon/kayu,kuskus,anjing,burung kakatua dan nuri,serta
bakung),seperti kata Asmat diatas,menunjukkan bagaimana sesungguhnya masyarakat
Asmat menempatkan perempuan yang sangat berharga bagi mereka.Hal ini tersirat juga
dalam berbagai seni ukiran dan pahatan mereka.Namun dalam gegap gempitanya
serta kemasyuran pahatan dan ukiran Asmat.
Tersembunyi suatu realita derita para Ibu dan gadis Asmat
yang tak terdengar dari dunia luar. Derita perempuan Asmat menjadi pelakon tunggal
dalam menghidupi suku tersebut.Setiap harinya mereka harus menyediakan makanan
untuk suami dan anak-anaknya, mulai dari mencari ikan,udang,kepiting,dan tembelo
sampai kepada mencari pohon sagu yang tua,menebang pohon sagu,menokok,membawa
sagu dari hutan,memasak dan menyajikan.Setelah itu mencuci tempat makanan atau
tempat masak termaksud mengambil air dari telaga atau sungai yang jernih untuk
keperluan minum keluarga. Sementara itu kegiatan laki-laki Asmat sehari-harinya
adalah menikmati makanan yang disediakan istrinya,mengisap tembakau,dan
berjudi.
Kadang suami membuat rumah atau perahu,namun dengan batuan
istri.Ada pula suami yang mau menemani istrinya mencari kayu bakar.Sayangnya
mereka hanya benar-benar menemani.Mendayung perahu,menebang kayu,dan membawanya
pulang adalah tugas istri.Suami yang cukup berbaik hati akan membantu
membawakan kapak istrinya. Jika istri tidak menyiapkan permintaan suaminya
seperti sagu atau ikan,maka istri akan menjadi korban luapan kemarahan.Jika
mereka kalah judi,maka istri pula yang akan dijadikan obyek kekesalan.Mereka
yang tinggal di Agats,kini terbiasa pula untuk mabuk,mereka lebih rentan untuk
mengamuk,sehingga istripun yang akan lebih banyak menerima tindak kekerasan.
Kadangkala laki-laki Asmat mengukir,jika mereka ingin tau atau jika hendak
menyelenggarakan pesta.Ketika laki-laki mengukir,maka tugas perempuan akan
semakin bertambah.Perempuan harus terus menyediakan sagu bakar dan makanan lain
yang diinginkan suami mereka agar dapat terus bertenaga untuk mengukir.Semakin
lama laki-laki mengukir,semakin banyak pula makanan yang harus mereka
sediakan.Hal itu berarti akan semakin lelah perempuan Asmat,karena harus
memangur,meramah,dan mengolah sagu,dan bahkan menjaring ikan,lebih tragisnya
lagi,jika ukiran itu dijual,maka uangnya hanya untuk suami yang
membuatnya,perempuan Asmat tidak menerima imbalan apapun untuk jerih payahnya
menyediakan makanan. Padahal tanpa makanan itu,satu ukiranpun tidak akan
selesai dibuat.
Sumber :
Dewi Linggasari,2004,Yang Perkasa Yang Tertindas. Potret Hidup Perempuan Asmat.Yogyakarta : Bigraf Publishing,bekerjasama dengan Yayasan Adhikarya IKAPI dan The Fourt Foundation. Sudarman, Dea (1993) Menyingkap Budaya Suku Pedalaman Irian Jaya. Jakarta: Delata
Sumber :
Dewi Linggasari,2004,Yang Perkasa Yang Tertindas. Potret Hidup Perempuan Asmat.Yogyakarta : Bigraf Publishing,bekerjasama dengan Yayasan Adhikarya IKAPI dan The Fourt Foundation. Sudarman, Dea (1993) Menyingkap Budaya Suku Pedalaman Irian Jaya. Jakarta: Delata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar